Bila terjadi penyimpangan seperti kelebihan pembayaran, keterlambatan, atau kualitas pekerjaan yang tidak sesuai kontrak, maka tanggung jawab melekat langsung pada Kadis PUPR untuk melakukan evaluasi, menagih kerugian negara, dan melaporkan hasil pengawasan kepada inspektorat maupun aparat penegak hukum.

Dengan beban tanggung jawab sebesar itu, terseretnya nama Kadis PUPR Minahasa dalam proyek Jalan Wolaang–Manembo menimbulkan kecurigaan publik bahwa masalah ini tidak sekadar teknis, tetapi sudah menyentuh ranah penyalahgunaan kewenangan.

Sejumlah warga menolak jika penyelesaian kasus hanya melalui Tuntutan Ganti Rugi (TGR). Mereka menegaskan, mekanisme administratif itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menghapus unsur pidana.

“Proyek Rp9,1 miliar ini tidak bisa hanya diselesaikan lewat TGR. Ini harus diusut tuntas, dan KPK yang harus turun tangan,” kata sejumlah warga Minahasa.

Aktivis antikorupsi Sulut turut menyuarakan desakan serupa.

Mereka menilai kasus ini bukan sekadar salah hitung, melainkan bagian dari pola sistematis praktik korupsi proyek daerah.

“Kalau proyek ini hanya selesai dengan TGR, artinya aparat penegak hukum ikut bermain. Pengembalian uang tidak menghapus korupsi. Kalau dibiarkan, ini jadi preseden buruk bagi proyek lain,” tegas seorang aktivis.