Dokumen yang tersedia hanya mencantumkan keterangan umum tanpa rincian identitas bidang tanah.

Lebih lanjut, aset tetap senilai Rp16,56 miliar juga tidak memiliki dokumen pendukung yang memadai, sehingga tidak dapat diyakini kewajarannya.

LAI juga mengungkapkan PDAM Minahasa belum menerapkan standar akuntansi imbalan pasca kerja sebagaimana diwajibkan dalam SAK-ETAP Bab 23.

Hal ini menambah catatan serius dalam laporan keuangan tahun 2024.

Aktivis anti korupsi Eddy Rompas dari Lembaga Investigasi Negara (LIN) menilai opini WDP terhadap PDAM Minahasa merupakan sinyal kuat adanya potensi penyimpangan serius.

“Opini WDP ini bukan sekadar catatan administratif, tapi indikator adanya dugaan penyimpangan sistematis di tubuh PDAM Minahasa.

Bagaimana mungkin piutang Rp39 miliar tidak jelas siapa pelanggan yang berutang, dan aset Rp16,5 miliar tidak bisa ditelusuri? Ini sangat berbahaya bagi pengelolaan keuangan daerah,” tegas Rompas kepada PRONews5.com, Kamis (2/10/2025).

Rompas juga menambahkan, kondisi tersebut membuka ruang praktik korupsi dan kolusi yang merugikan keuangan daerah. Ia mendesak aparat penegak hukum turun tangan menyelidiki temuan auditor tersebut.

“LIN meminta Aparat Penegak Hukum (APH) dan BPKP segera melakukan investigasi lanjutan.

Jangan sampai opini WDP ini hanya jadi catatan rutin tanpa ada penindakan.

Masyarakat butuh transparansi dan akuntabilitas, bukan alasan klasik soal keterbatasan dokumen,” ujarnya.

Direktur PDAM Minahasa dan Kepala Bagian Umum mengakui adanya catatan auditor terkait kelemahan pencatatan piutang dan aset.

Namun mereka berdalih keterbatasan dokumen merupakan akibat kondisi lama sebelum pemekaran wilayah dan peralihan sistem pencatatan.

Meski demikian, auditor menegaskan perlunya PDAM Minahasa segera melakukan pembenahan sistem pencatatan, penelusuran aset, serta penyisihan piutang agar laporan keuangan tahun berikutnya lebih andal.

[**/ARP]