“Bagaimana mungkin putusan pengadilan yang inkrah dianggap palsu? Laporan ini jelas salah prosedur dan berpotensi jadi alat tekan untuk menghalangi eksekusi,” tegas Weno, mantan penyidik polisi.

Nada serupa disuarakan Rocky Paat, SH, yang menilai laporan ini bisa menjadi bentuk obstruksi terhadap hukum.

“Putusan pengadilan wajib dilaksanakan. Kalau ada pihak yang mencoba menggagalkan dengan laporan duplikasi, itu bisa masuk kategori menghalangi eksekusi. Kapolda Sulut harus tegas meneliti penyidik yang menerima laporan seperti ini,” kata Paat.

Fakta hukum menunjukkan, kepemilikan Wisma Sabang sah berada di tangan ahli waris Lie Boen Yat, Novi Poluan.

Sementara pihak lain, termasuk Hengky Kaunang, justru terbukti memalsukan dokumen berdasarkan putusan pidana berkekuatan hukum tetap hingga tingkat Mahkamah Agung.

Dengan kata lain, dasar hukum yang dipakai kubu Kabimbang cacat dan tidak bisa dipakai lagi.

Namun ironisnya, laporan Junike Kabimbang tetap diterima kepolisian dan dilimpahkan ke Polresta Manado.

Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah aparat penegak hukum sedang bermain mata dengan upaya kriminalisasi?

Kasus ini menjadi cermin buram penegakan hukum di Sulawesi Utara. Produk pengadilan yang sudah inkrah bisa “dibonsai” dengan laporan baru.

Bila praktik seperti ini dibiarkan, maka kepastian hukum akan runtuh, dan mafia hukum akan semakin leluasa memanipulasi celah pidana untuk menekan putusan perdata.

[**/ARP]