JAKARTA, Pronews5.com – Desakan agar aktivitas tambang PT Hakkian Wellem Rumansi (PT HWR) di Ratatotok, Minahasa Tenggara, segera dibekukan, kembali menguat. Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Masyarakat Transparansi Indonesia (LSM-AMTI) melanjutkan aksi protesnya dengan menggelar demonstrasi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Ketua Umum DPP LSM-AMTI, Tommy Turangan, SH, memimpin langsung aksi yang diikuti ratusan orang dari berbagai elemen masyarakat. Aksi ini merupakan lanjutan dari pelaporan resmi yang dilakukan LSM-AMTI ke Bareskrim Mabes Polri, KPK, dan Kementerian ESDM sehari sebelumnya.

“Kami mendesak KPK segera turun ke lokasi tambang dan mengusut tuntas dugaan penggelapan pajak, perusakan lingkungan, serta keterlibatan oknum yang diduga membekingi aktivitas ilegal PT HWR,” tegas Turangan dalam orasinya.

Massa membawa sejumlah spanduk bertuliskan “Bekukan PT HWR”, “Masyarakat Butuh Keadilan”, dan “Usut Dugaan Kejahatan Agraria”. Aksi serupa juga dilanjutkan di depan kantor Kementerian ESDM, di mana massa menuntut pencabutan izin operasional PT HWR.

LSM-AMTI menyebut, Kementerian ESDM telah menolak Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PT HWR untuk periode 2024–2026. Penolakan tersebut diperkuat oleh rekomendasi resmi dari DPRD Minahasa Tenggara yang meminta penghentian kegiatan operasional PT HWR di wilayah tambang Ratatotok.

“Aktivitas tambang PT HWR kini sudah di luar batas. Meski RKAB ditolak, mereka masih beroperasi. Ini bentuk pembangkangan hukum,” ujar Deddy Rundengan, aktivis AMTI sekaligus warga Ratatotok.

Selain kerusakan lingkungan, PT HWR juga dituding menyerobot lahan milik warga, merusak ekosistem sekitar, serta tidak melakukan kewajiban reklamasi pascatambang. Hal ini dikuatkan oleh keterangan kuasa hukum warga Ratatotok, Dr. Steven Y. Pailah, SH.“Selama hampir 10 tahun beroperasi, PT HWR tidak pernah melakukan reboisasi atau penanaman kembali. Kegiatan tambang mereka telah menyebabkan deforestasi dan pencemaran yang parah,” ujar Steven dalam keterangannya, Minggu (27/7).

Ia menambahkan, berdasarkan hasil pengawasan Kementerian ESDM, perusahaan tersebut telah menerima peringatan keras berkali-kali karena tidak mampu memenuhi persyaratan teknis eksplorasi, produksi, dan pascaproduksi tambang.

Menurut Steven, Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT HWR akan berakhir pada November 2025. Jika tidak ada tindakan pemulihan sebelum masa izin habis, maka wilayah tambang dikhawatirkan akan meninggalkan kerusakan permanen.

“Yang tersisa hanyalah tanah tandus, kolam limbah, dan luka ekologis yang menganga,” tegasnya.

LSM-AMTI menyatakan akan terus mengawal kasus ini. Bila tidak ada respons dari KPK dan Kementerian ESDM dalam waktu dekat, mereka mengancam akan menggelar aksi lanjutan dengan jumlah massa yang lebih besar.

[**/IND]