MANADO, PRONews5.com– Berita tambang emas ilegal (PETI) di Tobayagan, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), berujung pada penangkapan jurnalis PortalSulut.ID, M. Rahmat Nasution, oleh aparat Polresta Manado pada Sabtu (24/5/2025).

Nas mengaku dijebak dan berada di bawah tekanan untuk menandatangani surat pernyataan bahwa berita yang ia tulis tentang tambang ilegal adalah hoaks.

Menurut Nas, peristiwa bermula pada Jumat malam (23/5), saat ia diundang bertemu oleh dua orang di kedai kopi Hotel Aston Manado: seorang wartawan berinisial RB dan seorang pria yang mengaku anggota intelijen BIN.

Keduanya mengklaim sebagai utusan Refan Saputra Bangsawan (RSB), yang disebut sebagai aktor utama tambang ilegal Tobayagan.

“Awalnya saya diajak ketemu Refan. Tapi saat pertemuan lanjutan keesokan harinya di rumah kopi, saya justru dikepung polisi dan dipaksa membuat pernyataan bahwa berita saya hoaks.

Saya juga disuruh minta maaf ke Refan, biar aman,” ujar Nas kepada PRONews5.com, Senin (9/6/2025).

Nas membantah tudingan pemerasan. Ia menyebut tidak pernah meminta uang kepada pihak manapun.

Sebaliknya, ia mengaku ditawari uang Rp20 juta agar bersedia menghapus berita investigasinya.

“Saya hadir karena dibujuk teman wartawan. Kalau saya memeras, kenapa berita sudah tayang tiga kali sebelumnya?” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa proses “penangkapan” oleh Polresta Manado tidak sah.

“Polisi bilang mereka hanya mengamankan saya atas permintaan Refan.

Tidak ada surat perintah atau laporan resmi. Jadi saya sebenarnya tidak ditangkap secara hukum,” ungkapnya.

Nas telah menulis serangkaian berita investigatif terkait aktivitas tambang emas ilegal di Tobayagan.

Dalam artikelnya, ia menyebut nama-nama seperti Refan, Elo, dan Stenly sebagai pengelola lapangan tambang tanpa izin yang merusak lingkungan menggunakan alat berat.

Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Sulawesi Utara, Edwin Popal, menanggapi keras insiden ini. Menurutnya, tindakan terhadap Nas merupakan bentuk pembungkaman pers.

“Berita itu bukan hoaks. Itu produk jurnalistik investigatif yang sah. Kalau tidak setuju, gunakan hak jawab. Jangan main intimidasi,” tegas Popal.

Popal juga mengungkapkan bahwa modus seperti ini—tuduhan pemerasan terhadap jurnalis dan penggunaan aparat untuk menekan media—sudah lama digunakan oleh pelaku kejahatan.

“Sayangnya, pola lama ini masih dipakai. Ini membahayakan kebebasan pers dan demokrasi,” ujarnya.

Nas menyatakan bahwa sebelum berita tayang, ia telah berupaya menghubungi Refan untuk konfirmasi namun tidak mendapat respons.

Ia tetap menerbitkan berita berdasarkan data lapangan dan informasi dari warga sekitar lokasi tambang.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari pihak Refan Saputra Bangsawan maupun Polresta Manado terkait penangkapan Nas. Kasus ini kini menjadi perhatian publik dan komunitas jurnalis di Sulawesi Utara.

[**/ARP]