MANADO, PRONews5.com — Penetapan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana hibah untuk Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) oleh Polda Sulawesi Utara (Sulut) menuai kritik tajam dari kalangan akademisi dan pakar hukum nasional.

Salah satu suara lantang datang dari DR. Santrawan Totone Paparang, SH, MH, M.Kn, pakar hukum pidana yang dikenal luas dalam bidang white collar crime di Indonesia.

Menurut Paparang, proses hukum terhadap lima orang tersangka—termasuk Ketua BPMS GMIM Pdt. Dr. Hein Arina dan empat pejabat Pemprov Sulut—terkesan terburu-buru, tidak objektif, dan berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi terhadap aparatur negara yang hanya menjalankan tugas birokratis.

Ia menilai, kebijakan pemberian hibah adalah kewenangan penuh Gubernur, sehingga jika terjadi pelanggaran, yang seharusnya pertama dimintai pertanggungjawaban adalah Gubernur Sulut saat itu, Olly Dondokambey, bukan para ASN pelaksana di bawahnya.

Diketahui, para tersangka dari unsur Pemprov Sulut adalah Asiano Gamy Kawatu (AGK), Jeffry Korengkeng (JK), Steve Kepel (SK), dan Ferdy Kaligis (FK), yang selama ini dikenal sebagai pejabat karier yang loyal terhadap kebijakan pimpinan.

Namun, menurut Paparang, loyalitas itu justru menjadi jebakan hukum yang kini menyeret mereka dalam kasus yang tak seharusnya mereka tanggung sendiri.

Ia menegaskan bahwa para ASN tersebut tidak memiliki diskresi anggaran dan hanya menjalankan instruksi, sehingga penetapan mereka sebagai tersangka bisa menjadi preseden buruk bagi sistem pemerintahan.