Terdakwa Hein tidak menolak keberadaan tanda tangannya dalam dokumen, namun mencoba mengecilkan peran dengan menyebut saksi sudah lebih dulu menandatangani.

“Surat sudah ditandatangani saksi (Denny Mangala) terlebih dahulu,” ujarnya.

Sementara terdakwa Steve membantah keras. Ia menuding baru mengetahui adanya dokumen tersebut saat diperlihatkan penyidik Polda.

“Keterangan saksi (DM) tidak benar. Saya tidak pernah memerintahkan saksi ke GMIM untuk tanda tangan dokumen,” katanya.

Aktivis Anti Korupsi Sulut, Eddy Rompas, menegaskan tanda tangan Denny Mangala adalah titik sentral dalam kasus ini.

“Dalam hukum administrasi, setiap tanda tangan berarti persetujuan dan legalisasi isi dokumen.

Jika Denny menandatangani pernyataan mutlak, ia memang tidak menikmati dana, tetapi perannya sebagai pengesah administratif sangat menentukan pencairan,” ujarnya.

Menurut Rompas, posisi Hein dan Steve pun tidak bisa begitu saja bebas dari jeratan hukum.

“Dalih Hein bahwa dirinya hanya menandatangani belakangan tidak otomatis membebaskan tanggung jawab.

Begitu pula bantahan Steve, jika terbukti aktif dalam penggunaan dana, justru bantahannya bisa memperberat posisinya,” tambahnya.

Kasus hibah GMIM, kata Rompas, menegaskan praktik tanda tangan bukan sekadar formalitas birokrasi, melainkan bagian dari sistem yang memungkinkan dana publik keluar dari kas negara tanpa pengawasan ketat.

[**/ARP]