Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.

PRONews5.com- Skandal dugaan korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara kepada Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) telah menyeruak ke permukaan. Sebuah ironi yang mengoyak kepercayaan publik, tidak hanya terhadap penyelenggara negara tetapi juga institusi gereja yang selama ini menjadi panutan spiritual masyarakat Minahasa. Kasus ini mengguncang Sulawesi Utara dan membuka tabir gelap relasi antara kekuasaan politik dan institusi keagamaan.

Pada tahun 2020, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara, di bawah kepemimpinan Gubernur Olly Dondokambey dan Wakil Gubernur Steven Kandouw, memberikan dana hibah senilai lebih dari Rp20 miliar kepada Sinode GMIM.

Secara normatif, pemberian dana hibah ini tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah, serta mengacu pada ketentuan hibah daerah yang tertuang dalam Pasal 298 ayat (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Utara menemukan indikasi kuat bahwa dana hibah tersebut tidak digunakan sesuai peruntukannya.

Tindak pidana korupsi diduga terjadi melalui pelanggaran prinsip akuntabilitas, transparansi, serta adanya penyalahgunaan wewenang dalam proses penganggaran, penyaluran, hingga penggunaan dana.

Berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan secara resmi oleh Polda Sulut, telah ditetapkan lima orang tersangka yang dinilai paling bertanggung jawab terhadap dugaan korupsi ini, yaitu:

  1. JRK (Jeffry R. Korengkeng) – mantan Sekretaris Daerah Sulut,
  2. AGK (Asiano G. Kawatu) – mantan Kepala BPKAD Sulut,
  3. FK (Fereydi Kaligis) – pejabat di lingkungan Pemprov,
  4. SK (Steve Kepel) – Kepala Biro Kesra Pemprov Sulut,
  5. HA (Pdt. Hein Arina) – Ketua Sinode GMIM.

Dua dari lima tersangka, yakni JRK dan SK, telah ditahan dengan status sebagai tahanan penyidik, sebagaimana diberitakan oleh Kompas TV Manado pada 7 April 2025.

Dari 84 saksi yang telah diperiksa oleh penyidik, terungkap bahwa pemberian hibah tidak melalui mekanisme yang sah, dan terjadi pelanggaran dalam proses administrasi maupun pelaporan pertanggungjawaban dana.

Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebut kerugian negara mencapai Rp8.967.684.405, sebuah angka yang signifikan dalam konteks bantuan sosial keagamaan.

Dugaan motif politik dalam pemberian dana hibah ini tidak bisa diabaikan. GMIM sebagai institusi gereja terbesar di Sulawesi Utara dengan jemaat lebih dari 800 ribu jiwa, secara elektoral merupakan “lahan strategis” dalam kontestasi politik lokal maupun nasional. Dugaan yang mengemuka adalah bahwa dana hibah tersebut merupakan bentuk kooptasi politik untuk mengamankan suara dalam Pemilu 2024 lalu—sebuah bentuk manipulasi institusi keagamaan demi tujuan elektoral.

Indikasi kooptasi makin diperkuat dengan adanya nama Gubernur Olly Dondokambey dan anggota keluarganya yang tercatat masuk dalam jajaran pengurus GMIM, menciptakan tumpang tindih antara domain kekuasaan negara dan rumah ibadah. Pendekatan kekuasaan terhadap institusi gereja ini dianggap telah menodai prinsip “gereja bebas dari pengaruh negara,” sebagaimana pernah ditegaskan oleh pendiri GMIM, Ds. A.Z.R. Wenas.

Kapolda Sulut, Irjen Pol Roycke Harry Langie menegaskan bahwa pengusutan kasus ini murni berdasarkan proses hukum dan tidak ada unsur politisasi. Namun demikian, banyak pihak mengawasi dengan seksama integritas penanganan perkara ini, mengingat para tokoh yang terlibat bukan hanya pejabat publik melainkan juga pemimpin spiritual.

Pemeriksaan terhadap mantan Wakil Gubernur Steven Kandouw telah dilakukan pada 8 April 2025 selama hampir 11 jam. Sementara itu, publik bertanya-tanya, kapan giliran Olly Dondokambey—yang kini menjabat sebagai Bendahara Umum DPP PDIP—akan dimintai pertanggungjawaban atas skandal ini, mengingat keputusan hibah terjadi dalam masa kepemimpinannya.

Kasus ini memberi dampak serius pada dua sisi sekaligus: kepercayaan terhadap pemerintahan daerah dan marwah gereja sebagai institusi suci. Masyarakat Minahasa dan warga Sulawesi Utara umumnya dikecewakan oleh praktik-praktik kekuasaan yang memanfaatkan institusi religius untuk kepentingan politik. Tak hanya menjadi kasus hukum, skandal ini telah menjelma menjadi krisis moral.

Bila terbukti, maka GMIM telah menjadi alat kekuasaan dan bukan lagi agent of change yang berjuang bagi kaum tertindas, sebagaimana cita-cita awal misi kekristenan. Dan jika ini dibiarkan, maka rusaklah sendi-sendi keadilan, kebenaran, dan kepercayaan yang menjadi pondasi relasi umat dan pemimpin gereja.

Kita perlu kembali merenungkan pesan klasik dari A.Z.R. Wenas:
“Agama/Gereja di Minahasa harus menjalankan misinya lepas dari pengaruh negara.”

Gereja dan negara harus berjalan di jalur masing-masing. Bila gereja menjual misinya demi pragmatisme politik, maka ia tak ubahnya Yudas Iskariot yang menjual Yesus untuk sekeping uang.

Dan sebagaimana diingatkan oleh Sam Ratulangi, “Sitou Timou Tumou Tou” – manusia hidup untuk memanusiakan sesama – maka tugas kita hari ini adalah memulihkan kepercayaan publik, menegakkan kebenaran, dan menjaga agar lembaga keagamaan tidak lagi menjadi alat kekuasaan politik.

I Yayat U Santi!!

[Penulis Adalah Pemerhati Ekonomi dan Politik, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta]