MANADO– Delapan tahun sudah berlalu sejak tanah milik Prof Ing Mokoginta di Kota Kotamobagu, Sulawesi Utara, diduga dirampas oleh mafia tanah.
Namun, hingga kini, perjuangannya untuk mendapatkan kembali haknya tak kunjung membuahkan hasil.
Sebagai seorang akademisi, Prof Mokoginta dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa hukum yang seharusnya menjadi pelindung, justru tak mampu mengembalikan haknya meskipun dua putusan inkrah dari Pengadilan Negeri dan PTUN telah menyatakan bahwa dirinya adalah pemilik sah tanah tersebut.
“Harus ganti berapa presiden dan berapa kapolri baru hak kami bisa kembali? Saya bingung bercampur kecewa, saat seorang rakyat berjuang mencari keadilan, negara hanya diam,” ungkapnya, pada 2 Januari 2025.
Kekecewaan Prof Mokoginta semakin mendalam setelah empat laporan polisi yang ia buat—termasuk di Polda Sulut dan Bareskrim Polri—tidak juga mendapatkan kejelasan.
Laporan-laporan tersebut telah bertahun-tahun mengendap tanpa kepastian.
Bahkan, salah satu laporannya di Unit I Subdit IV Dittipidum berujung dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), menutup harapannya akan penyelesaian hukum yang adil.
“Sudah tidak terhitung surat permohonan dan aduan yang saya kirimkan, baik ke kepolisian, kementerian terkait, DPR RI, bahkan Presiden. Semua itu hanya menjadi tumpukan kertas yang jadi sarang nyamuk,” tuturnya pedih.
Tak hanya dibiarkan tanpa kepastian, ia juga mengaku mengalami intimidasi selama memperjuangkan haknya.
Sebagai seorang profesor yang telah mengabdikan diri di dunia pendidikan, Prof Mokoginta tak kuasa menahan rasa sesal.
“Ini adalah kesalahan saya, seorang profesor terbodoh sepanjang sejarah. Bodohnya saya karena percaya keadilan di Indonesia itu ada,” tutupnya dengan nada getir.
Kisah Prof Mokoginta menjadi potret buram penegakan hukum di Indonesia, di mana rakyat yang mencari keadilan justru dihadapkan pada dinding tebal ketidakpastian dan sistem yang sering kali berpihak kepada mereka yang berkepentingan.
[**/VM]