Sejalan dengan itu, kuasa hukum John Hamenda—yang terdiri dari Dr. Santrawan Totone Paparang, SH, MH, M.Kn, Hanafi Saleh, SH, dan Marcsano Wowor, SH—menyambut baik putusan praperadilan ini sebagai peluang untuk menegakkan hukum secara adil.

“Kasus ini adalah bukti nyata bagaimana kejahatan kerah putih (white-collar crime) dilakukan dengan rekayasa dokumen dan penyalahgunaan sistem hukum.

Kami mendesak agar kepolisian bertindak profesional dan segera menetapkan tersangka baru,” ujar Dr. Santrawan Paparang.

Kasus ini berawal dari proyek pembangunan Mall Manado Square (MMS) pada tahun 2003 yang digagas oleh John Hamenda.

Sejumlah investor—termasuk Ir. Arianto Mulja, Drs. Subagio Kasmin, Ratna Purwati Nicolas Badarudin, Drs. Siman Slamet, dan Denny Wibisono Saputro, SH—menyetorkan uang muka sebesar Rp41 miliar untuk membeli kios di mall tersebut.

Namun, proyek itu tersendat akibat kasus Letter of Credit (LC) di PT Bank Negara Indonesia (BNI) yang menyeret nama Hamenda.

Meskipun dalam berbagai putusan pengadilan, termasuk Mahkamah Agung, tidak ditemukan unsur kerugian negara, dampak hukum dari kasus tersebut menyebabkan proyek MMS gagal terwujud.

Sebagai bentuk tanggung jawab, Hamenda menandatangani Akta Kesepakatan Nomor 11 pada 14 November 2003.

Dokumen ini menyatakan bahwa jika ia gagal mengembalikan dana investor, maka tanahnya seluas 52.651 m² di Malalayang I, Manado, akan dijual.

Namun, muncul dugaan manipulasi setelah ditemukan Akta Pengikatan Jual Beli (AJB) Nomor 12, yang diduga dibuat tanpa sepengetahuan Hamenda.

Akta ini menjadi dasar perpindahan kepemilikan tanah secara ilegal, yang mengarah pada dugaan keterlibatan mafia tanah.

Pada 2016, Hamenda melaporkan kasus ini ke Polresta Manado, yang kemudian dilimpahkan ke Polda Sulut.

Namun, tanpa alasan yang jelas, penyidik menghentikan penyelidikan dengan menerbitkan SP3, mengklaim tidak cukup bukti.

Tidak menerima penghentian kasusnya, Hamenda mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Kapolri pada 24 Februari 2021.

Setelah dilakukan gelar perkara oleh Bareskrim Polri, ia direkomendasikan untuk mengajukan gugatan praperadilan.

Kini, dengan dikabulkannya gugatan tersebut, Polda Sulut wajib membuka kembali penyelidikan dan menetapkan kembali para tersangka.

Menurut para aktivis dan pengamat hukum, keputusan ini merupakan momen penting bagi Polda Sulut untuk menunjukkan komitmen mereka dalam pemberantasan mafia tanah.

“Tidak boleh ada tebang pilih dalam penegakan hukum.

Kami mendesak agar Ridwan Sugianto dan pihak-pihak yang terlibat segera ditindak sesuai aturan yang berlaku,” ujar Arthur Mumu.

[**/ARP]