MANADO, PRONews5.com– Sidang praperadilan tersangka dugaan tindak pidana korupsi dana hibah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara kepada Sinode GMIM kembali digelar di Pengadilan Negeri Manado, pada hari Kamis (6/6/2025).
Dalam sidang tersebut, empat saksi ahli menyatakan bahwa penetapan Asiano Gammy Kawatu (AGK) sebagai tersangka oleh Ditreskrimsus Polda Sulut dinilai cacat hukum dan tidak tepat sasaran.
AGK sebelumnya menjabat sebagai Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Utara, dan ditetapkan sebagai tersangka terkait pencairan dana hibah sebesar Rp5 miliar kepada Sinode GMIM pada tahun 2022.
Namun, para saksi ahli menilai bahwa AGK tidak memiliki kewenangan hukum baik sebagai pemberi maupun penerima hibah.
“AGK hanyalah saksi dalam Naskah Perjanjian Dana Hibah (NPDH). Ia tidak diberi kewenangan oleh gubernur untuk menyerahkan dana hibah.
Seharusnya yang bertanggung jawab adalah pemberi dan penerima, yakni Gubernur Olly Dondokambey dan Ketua Sinode GMIM Hein Arina,” ujar Carlo Gerungan, ahli hukum administrasi negara.
Hal senada juga diungkapkan Rodrigo Elyas, ahli hukum pidana. Ia menjelaskan bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka pidana khusus, tidak cukup hanya dua alat bukti, tetapi harus ada surat dari lembaga berwenang yang menunjukkan adanya kerugian negara akibat penyalahgunaan kewenangan.
“Penetapan tersangka tanpa dasar tersebut termasuk error in persona, salah orang. AGK bukan subjek hukum yang bertanggung jawab,” tegas Rodrigo.
Kuasa hukum AGK, Dr. Santrawan Paparang, SH, MH, M.Kn, juga mempertanyakan legalitas sejumlah proses penyidikan yang dilakukan penyidik Polda Sulut. Ia menyebut bahwa SPDP, surat penyidikan, dan surat penahanan tidak pernah diterima secara sah oleh kliennya.
“Penahanan terhadap klien kami batal demi hukum karena prosedur administratif tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Bahkan berkas perkara telah dikembalikan oleh Kejati Sulut karena dianggap tidak lengkap,” ujar Paparang.
Sidang praperadilan yang dipimpin Hakim Ronald Masang itu juga diwarnai dengan permintaan tim kuasa hukum AGK agar sembilan saksi fakta termasuk Gubernur Sulut, Ketua Sinode GMIM, dan pejabat terkait lainnya, dihadirkan di pengadilan untuk memberikan keterangan secara langsung.
Sementara itu, pihak penyidik Tipidkor Ditreskrimsus Polda Sulut selaku termohon menyatakan bahwa tindakan mereka telah sesuai prosedur dan sah menurut hukum.
Namun demikian, dalam sidang sebelumnya, hanya AGK yang bersedia hadir sebagai saksi fakta, sedangkan empat tersangka lain menolak hadir dan menyampaikan pernyataan tertulis.
Pada akhir persidangan, AGK tampak hadir mengenakan rompi oranye, didampingi keluarga dan kerabat yang memenuhi ruang sidang.
Ketika memasuki ruang sidang, tangis haru mewarnai kehadirannya.
Atas arahan hakim, AGK diminta membuka rompi tahanan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia selama memberikan keterangan.
Kuasa hukum AGK juga menyatakan akan melaporkan dugaan pelanggaran etik penyidik ke Kapolri, Kabareskrim, Irwasum, Paminal Polri, dan Kompolnas bila prosedur hukum tetap tidak dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
“Ini bukan hanya soal hukum AGK, tetapi soal penegakan hukum yang adil dan prosedural. Kalau ini dibiarkan, semua bisa menjadi tersangka tanpa dasar kuat,” pungkas Paparang.
Sidang praperadilan ini menjadi momentum penting untuk menguji sah tidaknya penetapan tersangka terhadap AGK.
Jika hakim menyatakan penetapan itu tidak sah, maka seluruh proses penyidikan dan penahanan terhadapnya harus dinyatakan gugur demi hukum.
[*/ARP]