Dalam konteks ini, Paparang mendorong agar tersangka, termasuk Pdt. Hein Arina, menggunakan hak konstitusionalnya untuk menguji sah atau tidaknya tindakan penahanan melalui mekanisme praperadilan di Pengadilan Negeri Manado.
Langkah ini, menurutnya, adalah instrumen korektif terhadap potensi kesewenang-wenangan penegak hukum.
“Jika dalam proses penyidikan atau penahanan terdapat indikasi penyalahgunaan kewenangan, maka tersangka wajib mengajukan permohonan praperadilan.
Ini adalah manifestasi prinsip due process of law — bahwa kekuasaan harus dikontrol, dan hak asasi manusia harus dilindungi,” paparnya.
Lebih jauh, Paparang mengingatkan bahwa penegakan hukum yang benar tidak hanya berbicara tentang ketertiban, melainkan juga tentang legitimasi moral.
“Hukum tanpa keadilan adalah kekerasan yang dilembagakan,” kutipnya mengadaptasi pemikiran filsuf hukum klasik, Saint Augustine.
Sebagai langkah konkret, Paparang melalui Kantor Advokat & Konsultan Hukum Paparang – Hanafi & Partners telah ditunjuk resmi menjadi kuasa hukum salah satu tersangka, dan kini sedang memfinalisasi permohonan praperadilan terhadap Ditreskrimsus Polda Sulut.
Sebelumnya, Pdt. Hein Arina ditahan pada Kamis (17/04/2025) setelah memenuhi panggilan kedua penyidik. Ia baru kembali dari Amerika Serikat setelah mengikuti kegiatan gerejawi.
Kedatangannya di Mapolda Sulut disambut dukungan moril ratusan simpatisan, sebuah gambaran kuat tentang pentingnya menjaga marwah seorang pemimpin umat di tengah badai tuduhan.
Selain Arina, Polda Sulut juga telah menahan empat tersangka lainnya, yaitu Fereydy Kaligis, Jeffry Korengkeng, Steve Kepel, dan Asiano Gemmy Kawatu, dalam perkara yang sama.
Kasus ini tidak hanya menguji profesionalisme aparat penegak hukum, melainkan juga menjadi batu uji bagi tegaknya prinsip-prinsip keadilan, proporsionalitas, dan perlindungan hak asasi dalam negara hukum yang demokratis.
[*/ARP]