Dengan menggugat penahanan, Paparang ajak tegakkan hak konstitusional dan nilai-nilai hukum berbasis keadilan.
MANADO, PRONews5.com– Penahanan terhadap Ketua Sinode GMIM, Pdt. Dr. Hein Arina, oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulawesi Utara, dalam perkara dugaan penyalahgunaan dana hibah senilai lebih dari Rp21 miliar, memantik diskursus hukum yang mendalam.
Pakar hukum pidana, Dr. Santrawan Totone Paparang, SH, MH, M.Kn., menyatakan keprihatinannya terhadap pendekatan represif yang dipilih aparat penegak hukum.
Dalam pernyataannya kepada PRONews5.com, Kamis (17/04/2025), Paparang menekankan bahwa esensi hukum bukanlah semata-mata penghukuman, melainkan upaya mewujudkan keadilan substantif, keseimbangan sosial, dan pemulihan relasi yang terciderai.
“Supremasi hukum tidak boleh direduksi menjadi sekadar supremasi prosedur. Keadilan harus tetap menjadi orientasi utama.
Ketika penyelesaian dapat ditempuh melalui mekanisme restorative justice, maka menempuh jalur pemidanaan represif tanpa pertimbangan kemanusiaan adalah bentuk kekeliruan dalam menafsirkan tujuan hukum,” ujar Paparang.
Menurutnya, terhadap kasus hibah ini, pendekatan hukum yang lebih humanis, proporsional, dan akuntabel, harus diutamakan.
Apalagi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah melakukan audit yang dapat menjadi dasar klarifikasi, bukan sekadar alat pembuktian represif.
“Jika para pihak sepakat, restorative justice dapat dilaksanakan, sehingga ketertiban hukum dan rekonsiliasi sosial berjalan beriringan.
Menjadikan proses hukum sebagai alat intimidasi bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum nasional,” tegas Paparang.