Dalam dokumen hukum setebal ratusan halaman itu, mereka menegaskan bahwa SK DK PWI No. 21/IV/DK/PWI-P/SK-SR/2024 adalah produk hukum internal organisasi yang tidak bisa dipersoalkan di peradilan umum.


Pasal 59 dan 60 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dengan tegas menyebutkan bahwa sengketa internal ormas harus diselesaikan melalui mekanisme internal.

Pengadilan baru bisa masuk jika ada pelanggaran hukum pidana atau administrasi negara yang melibatkan kepentingan di luar organisasi. Gugatan Sayid tidak memenuhi kualifikasi itu.


Sayid menggugat Ketua DK PWI Sasongko Tedjo, Sekretaris DK Ilham Bintang, Bendahara PWI Marthen Susanto, dan sejumlah pihak lainnya karena SK sanksi DK PWI dianggap mencemarkan nama baik dan merugikannya.

Tapi justru ini menunjukkan ketidaktahuan akan prinsip dasar hukum: gugatan salah kamar dan cacat formil.

“Ini kekeliruan fatal. Dalam hukum, jika objek sengketa adalah keputusan internal yang lahir dari mekanisme organisasi, maka ranahnya bukan perdata, apalagi pidana.

Ini lex specialis dalam organisasi profesi,” jelas Luhut MP Pangaribuan, senior lawyer yang juga mantan Ketua Dewan Kehormatan Peradi.


Dalam SK DK PWI, Sayid dijatuhi sanksi karena terlibat dalam pengelolaan dana cashback sebesar Rp1,771 miliar dari kegiatan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dinilai menabrak etik dan transparansi.

SK tersebut bukan keputusan sepihak, melainkan hasil penyelidikan dan sidang etik yang melibatkan banyak pihak.

Putusan pengadilan ini memperkuat posisi DK PWI sebagai institusi penjaga etik di tubuh organisasi wartawan tertua di Indonesia.

Ini juga menjadi preseden yurisprudensial bagi organisasi profesi lainnya, bahwa tidak semua perbedaan pendapat atau sanksi bisa dilawan lewat jalur litigasi.


Alih-alih mencetak kemenangan, Sayid justru menorehkan preseden buruk dalam sejarah PWI: menggugat organisasi sendiri dan berujung kalah secara hukum.

Lebih parah lagi, ia kini harus menanggung biaya perkara dan tetap berkewajiban memulihkan dana yang dipersoalkan.

Drama ini mengajarkan satu hal penting: integritas profesi tak bisa dibeli dengan narasi, apalagi dibela dengan gugatan yang salah alamat.

[**/ARP]