PRONEWS|MANADO- Lembaga Swadaya Masyarakat Independen Nasionalis Anti Korupsi (LSM INAKOR) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri dugaan praktik korupsi dalam proses pembayaran pembebasan lahan proyek jalan tol Bitung-Manado.

Hal ini terkait pengaduan dari salah satu keluarga ahli waris, Cores Tampi Sompotan, yang merasa dirugikan akibat potensi pembayaran konsinyasi senilai Rp53 miliar kepada pihak yang tidak berhak.

Ketua Harian DPN LSM INAKOR, Rolly Wenas, menyatakan bahwa KPK perlu membuka dokumen terkait untuk membuktikan apakah ada malapraktik atau tidak dalam proses tersebut.

“Radar KPK harus berjalan, terutama jika ada indikasi pelanggaran hukum atau penyalahgunaan wewenang yang berpotensi merugikan negara.

Ini sejalan dengan atensi Presiden Prabowo Subianto dalam mendukung pemberantasan korupsi sebagai bagian dari program Asta Cita pemerintah,” ujarnya, Kamis (23/1/2025).

Rolly menambahkan bahwa KPK sebelumnya telah menangani kasus serupa, di mana sejumlah pejabat dijerat pasal-pasal terkait tindak pidana korupsi pengadaan lahan.

“Kasus ini menjadi pengingat bahwa korupsi dalam pengadaan tanah untuk infrastruktur masih menjadi tantangan besar,” tegasnya.

Dalam pengaduannya ke INAKOR, keluarga ahli waris Cores Tampi Sompotan, melalui perwakilannya berinisial HS dan MR, membeberkan bukti-bukti yang mereka miliki.

Salah satunya adalah putusan Mahkamah Agung (MA) No. 137PK/Pdt/1994 tanggal 30 April 1998 yang telah dieksekusi melalui Penetapan Ketua PN Bitung No. 12/Pen.Pdt.G/2004/PN.Btg pada 9 Agustus 2004.

Berdasarkan dokumen tersebut, tanah seluas 11.763 m² di Kelurahan Pateten, Kota Bitung, telah dinyatakan sah milik keluarga Cores Tampi Sompotan.

Namun, menurut ahli waris, ada kejanggalan dalam pencairan dana konsinyasi sebesar Rp53.187.864.987 yang dibayarkan kepada pihak tertentu.

“Kami meminta agar dokumen-dokumen ini diverifikasi secara menyeluruh dan kami siap memberikan bukti tambahan, termasuk berita acara pemeriksaan laboratorium kriminalistik, demi mengungkap kebenaran,” ungkap MR.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Pengadilan Negeri (PN) Bitung telah merealisasikan pembayaran konsinyasi dalam dua tahap.

Tahap pertama pada 2021, senilai Rp3 miliar, untuk penggantian kerugian bangunan.

Tahap kedua, sebesar Rp50 miliar, dicairkan pada 24 Desember 2024, untuk penggantian kerugian lahan dan bangunan.

Pihak PN menyatakan bahwa seluruh gugatan yang diajukan, termasuk oleh HS, telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Meski demikian, INAKOR menilai proses ini tetap perlu diaudit untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan atau kerugian negara yang terjadi.

“Sepanjang ada bukti kuat dan saksi yang valid, KPK wajib menindaklanjuti kasus ini,” pungkas Rolly Wenas.

[**/ARP]