PRONEWS|TOMOHON- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tomohon 2024 diwarnai dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan pasangan calon (Paslon) nomor urut 3, Caroll Joram Azarias Senduk dan Sendy Gladys Adolfina Rumajar (CSSR).

Penyelenggara Pilkada, KPU dan Bawaslu Tomohon, mendapat kritik tajam atas dugaan kelalaian dalam menegakkan aturan.

Paslon CSSR dituduh melanggar Pasal 71 ayat (2) dan (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, terkait mutasi pejabat di lingkup Pemerintah Kota Tomohon yang diduga kuat tanpa persetujuan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Mutasi tersebut, yang melibatkan 99 pejabat pada 22 Maret 2024, dianggap melanggar batas waktu enam bulan sebelum pemilihan.

Ketua LSM INAKOR, Rolly Wenas, menilai tindakan ini sebagai pelanggaran serius.

“Permohonan persetujuan Mendagri baru diajukan setelah mutasi dilakukan.

Ini adalah pelanggaran prosedural fatal yang dapat berujung pada diskualifikasi,” tegas Wenas, Senin (27/1/2024).

Pasal 71 ayat (5) mengatur bahwa pelanggaran ini dapat mengakibatkan pembatalan pencalonan.

Dalam preseden hukum melalui Putusan MA Nomor 570/K/TUN/PILKADA/2016, pelanggaran ini dianggap tidak dapat ditoleransi.

Bawaslu Tomohon juga disorot karena dianggap tidak menindaklanjuti temuan ini.

“Instruksi Bawaslu RI Nomor 7 Tahun 2024 sudah jelas mengamanatkan pengawasan ketat terhadap pelanggaran Pasal 71, tetapi tidak ada tindakan nyata,” kritik Wenas.

KPU Tomohon juga dinilai gagal memberikan sanksi administratif berupa diskualifikasi terhadap Paslon CSSR.

Wenas menegaskan, “Jika aturan tidak ditegakkan, kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi akan terkikis.”

Dalam sidang sengketa hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK), Paslon nomor urut 2, Wenny Lumentut dan Octavian Michael Mait (WL-MM), mengajukan gugatan terkait ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN), dugaan politik uang, dan penyalahgunaan fasilitas pemerintah oleh Paslon CSSR.

Kuasa hukum WL-MM, Denny Indrayana, mengungkap bukti adanya grup WhatsApp “Info Pemkot Tomohon” yang digunakan untuk kampanye Paslon petahana, melibatkan 27 ASN.

Selain itu, ditemukan indikasi penyalahgunaan program bantuan sosial untuk kepentingan politik serta praktik politik uang, seperti pembagian sembako dan uang tunai Rp300 ribu.

“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi pelanggaran mendasar terhadap prinsip demokrasi,” tegas Denny.

Sidang MK akan menjadi penentu terkait dugaan pelanggaran ini.

Jika terbukti, diskualifikasi Paslon CSSR menjadi langkah mutlak.

Mahkamah juga dapat memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) tanpa keikutsertaan CSSR, demi menjaga integritas Pilkada.

Aktivis demokrasi Jeffrey Sorongan menilai pelanggaran ini cukup jelas.

“Tidak ada ruang untuk interpretasi. Hukum harus ditegakkan demi keadilan dan kepercayaan publik,” katanya.

[**/ARP]