“Kami sudah tidak bisa menemukan lagi keadilan. Kami mohon kebijaksanaan dari pihak terkait,” ujar Franziska Ratu Runturambi, advokat yang turut mewakili Prof. Mokoginta.

Surat terbuka yang ditulis oleh Prof. Mokoginta bukan hanya sekadar ungkapan kekecewaan pribadi, tetapi lebih dari itu, surat ini menyoroti kegagalan sistem hukum Indonesia dalam melindungi hak-hak warga negara, terutama mereka yang berada dalam posisi rentan.

“Saya sudah capek tujuh tahun mengemis keadilan hanya untuk mempertahankan hak kami,” ungkapnya, menunjukkan betapa beratnya perjuangan yang telah ia jalani.

Fenomena mafia tanah yang semakin merajalela di Indonesia menjadi potret buruk yang mencerminkan masalah struktural dalam sistem hukum negara.

Kasus seperti yang dialami Prof. Mokoginta bukanlah kejadian tunggal, melainkan refleksi dari kenyataan pahit yang banyak dialami oleh warga negara yang hak-haknya terabaikan.

Tanah yang seharusnya menjadi hak penuh warga negara dapat dengan mudah dikuasai secara ilegal oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sementara sistem penegakan hukum gagal memberikan keadilan yang sejati.