Mantan Bupati Minsel, Drs. Ramoy Markus Luntungan (RML), juga mengkritik keras kebijakan BKN ini.

Menurutnya, larangan tersebut bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk mengelola pemerintahan sesuai kebutuhan wilayahnya.

“Di mana nafas otonomi daerah jika kepala daerah dilarang mengangkat staf khusus? Kepala daerah seharusnya diberikan hak prerogatif untuk menentukan struktur kerja yang sesuai dengan kebutuhannya, termasuk merekrut tenaga ahli yang kompeten,” ujar RML dalam wawancara pada Minggu (9/2/2025).

Sebagai Ketua Tim Kampanye Daerah YSK Victory, RML juga menyoroti bahwa staf khusus yang berasal dari kalangan non-ASN tidak seharusnya menjadi urusan BKN.

Jika ASN ditugaskan sebagai staf khusus tanpa tambahan gaji, menurutnya, hal itu juga tidak seharusnya dipermasalahkan.

Lebih lanjut, RML menegaskan bahwa staf khusus berperan strategis dalam memberikan masukan dan pertimbangan bagi kepala daerah, terutama di bidang-bidang yang memerlukan keahlian khusus.

Ia bahkan mencontohkan sistem pemerintahan di Amerika Serikat yang banyak melibatkan penasihat berusia lanjut dengan pengalaman dan wawasan yang luas.

“Usia yang matang membawa kebijaksanaan dalam memberikan pertimbangan kepada pemimpin. Kepala daerah seharusnya diberi keleluasaan untuk memilih tim ahli yang mendukung efektivitas pemerintahan,” tambahnya.

Dengan adanya berbagai sorotan ini, pemerintah pusat didesak untuk meninjau ulang kebijakan BKN terkait larangan pengangkatan staf khusus oleh kepala daerah.

Prinsip otonomi daerah yang memberikan fleksibilitas dalam tata kelola pemerintahan harus tetap dijunjung tinggi, asalkan dilakukan dengan prinsip akuntabilitas dan efisiensi anggaran.

Ke depan, diharapkan ada regulasi yang lebih adil dan jelas, sehingga kepala daerah tetap bisa bekerja secara efektif dengan tim yang kompeten tanpa harus terbentur kebijakan yang dianggap diskriminatif.

Sorotan dari berbagai pihak ini menunjukkan bahwa kebijakan BKN masih memiliki banyak celah yang perlu dievaluasi.

Dengan adanya desakan dari Senator SBANL dan RML, langkah selanjutnya ada di tangan pemerintah pusat—apakah akan mempertahankan larangan ini atau justru membuka ruang dialog demi kepentingan tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

[**/ARP]