PRONEWS|JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengungkapkan tantangan besar dalam upaya pemberantasan korupsi melalui hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024.

Hasil survei menunjukkan skor Indeks Integritas Nasional berada di angka 71,53 poin, yang mengindikasikan tingkat kerentanan praktik korupsi masih tinggi, terutama terkait suap dan gratifikasi di kementerian/lembaga (K/L) serta pemerintah daerah (PD).

Hal ini diungkapkan Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, dalam acara Peluncuran SPI 2024 yang digelar di Gedung Juang Merah Putih KPK, Jakarta, pada Rabu (22/1).

“Suap dan gratifikasi masih terjadi dengan angka yang signifikan: 90 persen di kementerian/lembaga dan 97 persen pada pemerintah daerah,” ungkap Pahala.

Pahala menjelaskan bahwa survei tidak hanya mengandalkan laporan dari pihak eksternal, tetapi juga melibatkan pengakuan dari pegawai internal.

Hasil survei menunjukkan 36 persen pegawai internal mengaku pernah melihat atau mendengar praktik penerimaan uang, barang, atau fasilitas dari pengguna layanan dalam satu tahun terakhir.

Angka ini mengalami kenaikan 10 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

“Lonjakan ini menunjukkan bahwa masih ada celah besar dalam sistem pencegahan korupsi di internal lembaga pemerintah,” tegas Pahala.

Dari sisi pola praktik suap dan gratifikasi, survei menemukan bahwa 69,70 persen pemberian dilakukan dalam bentuk uang, sementara sisanya berupa barang (12,59%), fasilitas hiburan (7,68%), dan bentuk lainnya (10,03%).

Responden eksternal mengungkap alasan pemberian ini didominasi oleh rasa terima kasih (47,21%), keinginan mendapatkan perlindungan (17,52%), membangun relasi (15,51%), dan rasa sungkan (14,22%).

Selain itu, 42,07 persen responden eksternal mengaku bahwa pemberian dilakukan karena mendapatkan informasi dari petugas, sedangkan 22,3 persen melakukannya atas inisiatif pribadi, dan 16,65 persen menyebutnya sebagai tradisi atau kebiasaan yang lumrah.

Hasil survei juga mengungkap persentase yang hampir setara antara praktik gratifikasi tanpa kesepakatan (50,05%) dan suap/pungli dengan kesepakatan (49,95%).

Data ini menyoroti bahwa integritas pelayanan publik masih sangat lemah dan rentan terhadap penyalahgunaan wewenang.

KPK mengajak seluruh pihak, termasuk masyarakat, untuk tidak hanya menolak pemberian dan penerimaan suap/gratifikasi, tetapi juga secara aktif mendukung upaya perbaikan integritas. KPK juga menekankan pentingnya teladan dari pimpinan organisasi pemerintah untuk menciptakan budaya anti-korupsi.

“Kita membutuhkan reformasi besar, terutama dalam penerapan sistem pencegahan korupsi.

Tidak hanya melibatkan aturan, tetapi juga teladan langsung dari pimpinan lembaga,” tegas Pahala.

Dengan temuan ini, KPK berharap ada kesadaran kolektif dari masyarakat dan pemerintah untuk memperbaiki indeks integritas nasional.

Reformasi sistem, pengawasan ketat, dan dukungan publik menjadi langkah penting untuk menghapus praktik suap dan gratifikasi yang masih membudaya di Indonesia.

“Perubahan dimulai dari diri sendiri. Jangan pernah memberi atau menerima, dan pastikan kita menjadi bagian dari solusi, bukan masalah,” pungkas Pahala.

[**/ARP]