PRONEWS- Pentingnya mematuhi batas waktu dalam penggantian pejabat pada masa menjelang pemilihan kepala daerah menjadi sorotan tajam dalam proses Pilkada 2024.

Pasal 71 dalam Undang-Undang Pemilihan secara tegas mengatur tentang batas waktu penggantian pejabat oleh Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, dan Walikota serta Wakil Walikota, yang tidak boleh dilakukan dalam waktu 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon.

Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga netralitas dan mencegah penyalahgunaan wewenang oleh petahana yang dapat merugikan calon lain.

Pasal 71 ayat (2) menyatakan bahwa pelanggaran atas ketentuan ini, tanpa persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri, dapat berujung pada sanksi pembatalan pasangan calon oleh KPU, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Hal ini diperjelas lebih lanjut pada Pasal 71 ayat (3), yang melarang petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam jangka waktu yang sama.

Keputusan KPU Nomor 1229/2024 lebih mempertegas sanksi bagi petahana yang melanggar, yakni pembatalan pasangan calon sebagai peserta pemilihan.

Ketentuan ini mencakup tiga poin utama: pelaksanaan penggantian pejabat dalam periode yang terlarang, penggunaan kewenangan yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon, serta pemberian imbalan dalam proses pencalonan yang melanggar hukum.

Dalam praktiknya, ketidakpatuhan terhadap ketentuan batas waktu penggantian pejabat, seperti yang terjadi dalam pelantikan pejabat pada 21 dan 22 Maret 2024, dapat memicu pembatalan pasangan calon yang melanggar aturan tersebut.

Hal ini menjadi isu penting yang sedang digugat dalam proses hukum Pilkada 2024 di Kota Tomohon, di mana pasangan calon Wenny Lumentut dan Michael Mait mendalilkan adanya pelanggaran pasal 71 ayat (2) yang dilakukan oleh petahana Caroll Joram Azarias Senduk.

Mereka menuntut pembatalan pelantikan tersebut serta tindakan tegas atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh petahana menjelang penetapan calon.

Selain itu, Pasal 71 ayat (5) memberikan kepastian hukum bahwa petahana yang melanggar ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi pembatalan oleh KPU, yang tercermin dalam Keputusan KPU yang mengatur mekanisme pembatalan pasangan calon.

Oleh karena itu, penting bagi penyelenggara pemilu dan para calon untuk mematuhi aturan yang telah ditetapkan untuk menjaga integritas dan kesetaraan dalam kontestasi politik.

Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan pembatalan pasangan calon harus didasarkan pada ketentuan yang jelas dan sah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ini bukan hanya soal pelaksanaan hukum, tetapi juga tentang menjaga kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan umum yang adil dan transparan.

Pelanggaran terhadap batas waktu penggantian pejabat dan penyalahgunaan kewenangan menjelang Pilkada 2024 memiliki dampak hukum yang serius, termasuk kemungkinan pembatalan pasangan calon yang melanggar.

Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam pemilihan, baik petahana maupun calon lainnya, harus mengedepankan prinsip keadilan dan netralitas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, serta mematuhi ketentuan hukum yang berlaku untuk menciptakan pemilihan yang demokratis dan bersih dari praktik kecurangan.

[**/REDAKSI]