JAKARTA, PRONews5.com – Skandal besar mengguncang industri pangan nasional. Satgas Pangan Polri, dalam konferensi pers Rabu (24/7/2025), membongkar praktik sistematis kecurangan dalam peredaran beras bermerek.
Hasil investigasi lintas kementerian dan kepolisian menguak fakta bahwa lebih dari 85 persen beras premium dan medium di pasaran tak memenuhi standar mutu nasional. Kerugian masyarakat ditaksir mencapai Rp99,35 triliun setiap tahun.
Penelusuran kasus ini bermula dari temuan mencurigakan oleh tim pengawas Kementerian Pertanian. Setelah melakukan serangkaian pengujian di laboratorium dan uji pasar di 10 provinsi utama, ditemukan bahwa mayoritas beras bermerek yang dijual sebagai beras premium dan medium tidak sesuai dengan label mutu maupun takaran.
Masalah paling mencolok adalah kadar patahan yang melebihi batas toleransi, kadar air yang tidak stabil, dan bobot kemasan yang lebih ringan dari yang tercantum.
Pada 26 Juni 2025, temuan tersebut dilaporkan secara resmi ke Kapolri. Respons cepat datang dari Bareskrim Polri. Dalam waktu kurang dari sebulan, Satgas Pangan bergerak.
Di bawah kendali Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim, Brigjen Pol Helfi Assegaf, pengungkapan kasus ini dilakukan melalui operasi gabungan di Jakarta Timur, Subang (Jawa Barat), dan Serang (Banten).
Dari lokasi pengolahan dan distribusi, polisi menyita 201 ton beras kemasan, dokumen internal produksi, label cetakan, serta hasil uji mutu laboratorium.
Lima merek besar yang teridentifikasi sebagai tidak memenuhi syarat mutu adalah Setra Ramos Merah, Setra Ramos Biru, Setra Pulen, Sania, dan Jelita. Investigasi lebih lanjut mengaitkan merek-merek ini dengan tiga entitas bisnis utama: PT FS (produsen Setra Ramos), PT PIM (produsen Sania), dan Toko SY (distributor Jelita).
Namun yang mencengangkan bukan sekadar pelanggaran mutu. Banyak produk dijual di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Pola markup harga ditemukan di sebagian besar wilayah pemantauan, dari Jawa Tengah hingga Kalimantan Selatan.
Bahkan, terdapat bukti kuat bahwa sejumlah distributor memalsukan berat bersih kemasan hingga 15 persen dari takaran asli.
Menurut Brigjen Helfi, praktik ini tidak hanya melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tetapi juga diduga kuat melibatkan unsur pencucian uang, pelanggaran perdagangan, dan pemalsuan dokumen distribusi.
“Kami sedang menelusuri aliran uang dan aset dari hasil penjualan beras-bermutu rendah yang dikemas ulang sebagai produk premium. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi kriminalitas terstruktur yang bisa melibatkan jaringan besar,” ujarnya tegas.
Polri saat ini tengah memeriksa para pemilik perusahaan, manajer produksi, serta mitra distribusi utama dari ketiga entitas tersebut.
Penelusuran juga dilakukan terhadap kemungkinan keterlibatan pihak perantara label, distributor e-commerce, hingga minimarket yang memasarkan produk-produk bermasalah tersebut secara luas.
Sumber internal menyebut bahwa ada indikasi “kartel mutu” dalam industri beras kemasan, di mana beberapa produsen saling berbagi sumber bahan baku dari gudang yang sama, dan hanya memodifikasi label serta kemasan akhir.
Jika ini terbukti, maka model bisnis tersebut bisa digolongkan sebagai konspirasi untuk menipu konsumen secara sistematis.
Menanggapi skandal ini, Presiden RI Prabowo Subianto dilaporkan telah memerintahkan langkah pembenahan menyeluruh terhadap sistem pengawasan mutu pangan, mulai dari hulu produksi hingga distribusi retail.
Pemerintah juga berencana mengintegrasikan data izin edar produk pangan dengan hasil pengawasan real-time di lapangan, menggunakan teknologi kecerdasan buatan dan blockchain supply chain.
Brigjen Helfi menegaskan bahwa Satgas Pangan tidak akan berhenti di lima merek tersebut. “Kami akan lanjutkan investigasi terhadap ratusan merek lain yang belum kami umumkan. Siapa pun yang bermain curang dalam distribusi pangan rakyat, akan kami kejar sampai ke akar-akarnya,” ujarnya.
Lebih jauh, Polri saat ini tengah menyusun skema pemulihan kerugian masyarakat melalui pendekatan asset recovery.
Aset-aset hasil kejahatan yang disita dari pelaku akan dialihkan sebagai kompensasi bagi konsumen terdampak, termasuk dalam bentuk subsidi distribusi beras berkualitas di kawasan padat miskin kota.
Skandal ini menjadi salah satu kasus pengungkapan terbesar di sektor pangan sejak 2017.
Analis kebijakan publik menilai bahwa lemahnya sistem pengawasan post-market dan celah dalam pengaturan HET selama ini telah membuka ruang besar bagi pelaku usaha tak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan besar tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi rakyat kecil.
Kita menghadapi kenyataan pahit bahwa beras yang dikira layak konsumsi, ternyata menjadi alat manipulasi raksasa di balik industri pangan nasional.
Ini bukan hanya soal penipuan label. Ini adalah pengkhianatan terhadap hak dasar warga negara untuk makan dengan layak dan adil.
[**/ARP]