Oleh: Junaidi Rusli
SERANG, PRONews5.com – Surat resmi dari Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 12 Juli 2025 telah menyampaikan dengan terang bahwa Menteri Komunikasi dan Digital (KomDigi), Meutya Hafidz, ditugaskan untuk mewakili Wakil Presiden dalam perayaan HUT ke-2 Forum Pimpinan Redaksi Multimedia Indonesia (Forum Pimred MI) yang digelar pada 18 Juli 2025 di Serang, Banten.
Surat bernomor B-31/KSN/ SWP/ KK. 04/ 07 /2025 tersebut bukan sekadar undangan biasa, melainkan mandat langsung dari lembaga tinggi negara. Di dalamnya tercantum permintaan kehadiran sang menteri sebagai Keynote Speaker, mewakili suara pemerintah pusat dalam pertemuan ratusan pimpinan redaksi media dari seluruh Indonesia.
Namun hingga hari pelaksanaan, tak terlihat kehadiran Meutya Hafidz maupun pejabat setingkat yang didelegasikan untuk menggantikannya. Tidak ada klarifikasi resmi. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada komunikasi lanjutan. Hening.
Ini bukan sekadar absensi dalam acara seremonial. Ini adalah bentuk pengabaian terhadap amanat Wakil Presiden sekaligus sikap yang menyinggung dunia jurnalistik—dunia yang pernah membesarkan nama Meutya Hafidz sebelum masuk ke gelanggang politik dan birokrasi.
Sebagai mantan jurnalis, publik tentu berharap Meutya tetap menjaga hubungan dengan komunitas pers. Justru di titik inilah kekuatan seorang menteri berlatar belakang wartawan semestinya diuji: apakah ia tetap menghayati nilai solidaritas profesi dan menghormati ruang dialog dengan kalangan media?
Alih-alih mempererat sinergi antara kementerian dan para pimpinan redaksi, ketidakhadiran Meutya—yang dilakukan tanpa keterangan maupun delegasi—menciptakan jarak, bahkan kesan seolah meremehkan dunia pers dan amanat formal kenegaraan.
Apakah ini cerminan seorang pejabat publik yang mulai lupa pada akar profesinya? Ataukah ini gejala klasik birokrasi yang semakin menjauh dari komunitas dan aspirasi publik?
Kami di Forum Pimred MI tidak menuntut perlakuan istimewa. Tapi ketika sebuah forum nasional yang menaungi para pemimpin redaksi dari berbagai platform media mendapat kepercayaan dan perhatian dari Wapres, ketidakhadiran tanpa alasan dari pejabat yang diberi tugas jelas merupakan sinyal yang menyakitkan bagi insan pers.
Publik berhak tahu dan mempertanyakan: apakah para pejabat yang berasal dari profesi mulia seperti jurnalis, dokter, guru, akademisi, atau aktivis sosial—ketika telah duduk di kursi kekuasaan—masih membawa semangat nilai profesinya? Atau justru tercerabut dari akarnya, larut dalam protokoler kekuasaan dan formalitas politik?
Ini bukan tentang satu nama. Ini tentang harapan publik terhadap pemimpin yang paham ruang batin masyarakat. Termasuk, harapan insan pers kepada Meutya Hafidz—bahwa sejarahnya sebagai wartawan masih berarti, bukan sekadar catatan masa lalu.
Penulis Adalah: Wakil Ketua Umum Forum Pimpinan Redaksi Multimedia Indonesia (FPRMI)