Oleh: Adrianus R. Pusungunaung

Desentralisasi fiskal adalah salah satu pilar utama Reformasi 1998. Melalui skema Transfer ke Daerah (TKD), pemerintah pusat diharapkan dapat memperkuat kemandirian fiskal daerah serta memastikan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, arah kebijakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 justru menimbulkan pertanyaan serius.

Pemerintah pusat memangkas TKD menjadi Rp650 triliun, turun drastis Rp269 triliun atau sekitar 29 persen dari alokasi tahun 2025 sebesar Rp919 triliun.

Angka ini merupakan level terendah dalam lima tahun terakhir. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa kebijakan tersebut ditempuh untuk efisiensi belanja dan menutup defisit APBN 2026 yang mencapai Rp638,8 triliun.

Kendati demikian, kebijakan ini langsung memicu perdebatan luas. DPR, asosiasi pemerintah daerah, hingga kalangan pengamat menilai pemangkasan tersebut berpotensi mengganggu pelayanan publik, memperlebar kesenjangan antar-daerah, serta mengikis otonomi yang telah diperjuangkan pasca-Reformasi.

Pertama, pemangkasan TKD berisiko besar mengganggu pelayanan publik dasar. Selama ini, sebagian besar daerah masih sangat bergantung pada transfer fiskal dari pusat karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) rata-rata hanya menyumbang 20–30 persen dari total APBD.

Dengan ruang fiskal yang semakin sempit, program vital seperti layanan kesehatan di puskesmas, pendidikan di sekolah negeri, hingga pembangunan infrastruktur irigasi dapat tertunda atau terhenti.

Kedua, pemangkasan TKD melemahkan legitimasi politik kepala daerah. Para bupati dan gubernur khawatir hanya menjadi pelaksana teknis kebijakan pusat.

Padahal, sesuai teori desentralisasi fiskal Oates (1972) dan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pemerintah daerah justru dianggap lebih memahami kebutuhan masyarakatnya dibanding pemerintah pusat. Jika ruang inovasi daerah terkikis, maka demokrasi lokal kehilangan maknanya.

Ketiga, kebijakan ini berpotensi melahirkan sentralisasi fiskal gaya baru. Walau TKD dipangkas, RAPBN 2026 justru menaikkan belanja langsung pemerintah pusat ke daerah hingga Rp1.376,9 triliun.

Dengan demikian, fungsi pemerintah daerah berubah dari pengambil keputusan mandiri menjadi sekadar operator kebijakan pusat. Fenomena ini mengingatkan kembali pada pola sentralistik Orde Baru, di mana daerah hanya menjadi pelaksana tanpa kuasa menentukan prioritas pembangunan sendiri.

Keempat, risiko peningkatan beban pajak lokal juga mengintai. Sejumlah pengamat memperingatkan bahwa pemerintah daerah bisa terdorong menaikkan pajak dan retribusi untuk menutup kekurangan fiskal. Jika itu terjadi, masyarakatlah yang menanggung beban terbesar akibat kebijakan pusat.

Pemangkasan TKD 2026 sebesar Rp269 triliun bukan sekadar soal angka, melainkan menyangkut masa depan otonomi daerah dan kualitas demokrasi lokal di Indonesia. Kebijakan ini menunjukkan tren “recentralisasi fiskal” yang bertolak belakang dengan semangat Reformasi 1998.

Otonomi fiskal seharusnya diperkuat agar daerah mampu berinovasi dalam pembangunan, bukan justru dipangkas hingga mereka kehilangan ruang gerak.

Pemerintah pusat memang perlu menjaga defisit APBN, tetapi bukan dengan mengorbankan kemandirian daerah dan hak masyarakat atas layanan publik.

Karena itu, perlu ada desain ulang mekanisme transfer fiskal yang lebih adil, transparan, dan berkelanjutan.

Pemerintah pusat harus menyeimbangkan kepentingan efisiensi dengan penguatan kapasitas fiskal daerah. Jika tidak, maka otonomi daerah hanya akan menjadi jargon kosong, sementara rakyat di daerah kembali menjadi penonton dalam pembangunan bangsanya sendiri.

Penulis Adalah: Pemimpin Redaksi PRONews5.com