PRONews5.com – Sejarah bukan hanya milik mereka yang bersuara keras, melainkan juga milik mereka yang bekerja dalam diam, membangun fondasi yang tak kasatmata namun dirasakan berpuluh tahun sesudahnya. Salah satu sosok seperti itu adalah Elias Dumais Dengah, putra Minahasa kelahiran 7 September 1893, yang mengabdi lintas zaman—dari masa Hindia Belanda, Negara Indonesia Timur, hingga awal republik—dengan rekam jejak cemerlang dalam bidang infrastruktur, pemerintahan, dan gereja.
Minahasa pada awal abad ke-20 dikenal sebagai salah satu pusat pendidikan Kristen di Hindia Belanda. Sistem pendidikan zending membentuk generasi cerdas dan loyal, yang kemudian banyak direkrut ke birokrasi kolonial.
Elias Dumais Dengah adalah bagian dari generasi ini—lulusan sekolah misi dan pelatihan teknis pemerintah Belanda, yang kelak dikenal sebagai sosok terdepan dalam urusan pembangunan wilayah Celebes (Sulawesi).
Kepiawaiannya membuatnya dipercaya memegang jabatan penting: Hoofd van Verkeer en Waterstaat Provincie Celebes, atau Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perhubungan Provinsi Sulawesi. Jabatan ini setara kepala dinas provinsi hari ini, dan pada masa kolonial, sangat strategis karena menyangkut pembangunan jalan, jembatan, irigasi, air bersih, dan transportasi penghubung antarwilayah.
Catatan pemerintah Belanda dalam Verslag van den Staat van Nederlandsch-Indië (1920–1940) menyebut posisi ini hanya diberikan kepada pejabat yang mendapat kepercayaan penuh dari pemerintah pusat di Batavia. Sangat sedikit pribumi yang menduduki jabatan teknis setingkat itu—dan Elias Dengah adalah pengecualian yang mencolok.
Berbeda dengan tokoh-tokoh politik yang tampil dalam rapat-rapat akbar atau dalam sorotan media kolonial, Elias bekerja senyap. Ia memimpin proyek-proyek strategis di Celebes bagian utara dan tengah. Di balik jalan-jalan besar yang menghubungkan Minahasa dengan Gorontalo, Pelabuhan Bitung, atau rute darat menuju Makassar, tersimpan tangan-tangan teknokrat seperti dirinya.
Pandangan teknokratis ini pula yang kelak membuatnya dipercaya masuk dalam Kabinet Negara Indonesia Timur (NIT) sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan pada tahun 1947. Kabinet yang bermarkas di Makassar ini dibentuk Belanda sebagai strategi federal untuk menghadang dominasi Republik Indonesia pasca-Proklamasi 1945.
Meski NIT dikenal kontroversial, banyak tokoh lokal seperti Elias Dengah memilih berada di dalam sistem untuk memastikan pembangunan dan pelayanan publik tetap berjalan bagi rakyat. Dalam dilema antara nasionalisme dan realpolitik, ia memilih membangun—jalan, jembatan, dan akses air bersih—sebagai bentuk pengabdian kepada bangsa.
Tak hanya di jajaran eksekutif, Elias juga tercatat sebagai Ketua Dewan Minahasa, lembaga perwakilan lokal pada masa akhir Hindia Belanda. Lembaga ini merupakan embrio dari sistem DPRD saat ini.
Sebagai ketua, Elias memfasilitasi berbagai keputusan pembangunan lokal yang menyangkut pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ia dikenal sebagai tokoh tenang, teliti, dan jarang berbicara sembarangan. Pendekatannya teknokratis, bukan politis. Ia lebih percaya pada efek kebijakan daripada propaganda. Dalam beberapa arsip, ia disebut sebagai “de stille bestuurder” – pemimpin yang diam namun efektif.
Jika jasanya di bidang pembangunan sudah terbukti, peran Elias Dumais Dengah dalam bidang keagamaan juga tak kalah penting. Ia adalah salah satu tokoh sipil yang mendukung penuh perjuangan otonomi gereja di Minahasa.
Pada 30 September 1934, berdirilah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) sebagai institusi gereja otonom. GMIM memutus ketergantungan pada zending Belanda dan mulai dikelola sepenuhnya oleh pendeta dan majelis jemaat lokal. Elias Dengah, dengan kekuatan pengaruh dan jaringan administrasinya, turut memperkuat posisi GMIM sebagai pilar spiritual dan sosial masyarakat Minahasa.
Referensi dari Sejarah GMIM menyebutkan peran para tokoh sipil dan intelektual Minahasa dalam peralihan gereja dari tangan misi ke tangan anak negeri. Dalam dinamika itulah Elias hadir, bukan sebagai orator, tapi sebagai fasilitator.
Elias Dumais Dengah wafat pada 2 Oktober 1964. Ia dimakamkan di Aer Madidi, Kabupaten Minahasa Utara. Hingga kini, makamnya masih berdiri, namun dalam kondisi kurang terawat. Sebuah video dokumentasi yang diunggah di TikTok oleh akun @suit.suit0 memperlihatkan nisan beraksara Belanda yang nyaris tertutup rumput dan tanpa monumen penghargaan.
Di batu nisannya tertulis kalimat: “Veilig in Jezus’ armen”—“Aman dalam pelukan Yesus”. Kalimat itu mencerminkan akhir dari kehidupan seorang pelayan rakyat dan gereja, yang hidupnya diabdikan bukan untuk kemegahan pribadi, melainkan untuk membangun peradaban dari balik layar kekuasaan.
Saat ini, ketika Sulawesi Utara sedang menggali kembali tokoh-tokoh lokal yang terlupakan, nama Elias Dumais Dengah harus mendapat tempat. Ia adalah teknokrat murni, pemimpin jujur, pembangun gereja dan negara yang namanya nyaris tak disebut dalam buku sejarah nasional. Ia tidak meninggalkan patung atau gedung atas namanya, tapi meninggalkan jaringan jalan dan semangat gereja merdeka yang terus hidup.
Mungkin inilah saatnya pemerintah daerah, GMIM, dan komunitas sejarah Sulawesi Utara memberi ruang penghargaan yang layak bagi tokoh seperti Elias Dumais Dengah—dalam bentuk pelestarian makam, dokumentasi biografi, atau penamaan jalan sebagai wujud terima kasih atas jasa yang tak terucap namun terasa.
Penulis: Adrianus R. Pusungunaung
- birokrat Hindia Belanda
- Dewan Minahasa
- Elias Dumais Dengah
- GMIM
- Hoofd van Verkeer en Waterstaat
- infrastruktur Sulawesi
- makam Elias Dengah
- Menteri Negara Indonesia Timur
- otonomi gereja
- pembangunan zaman Belanda
- Provinsi Celebes
- sejarah GMIM
- sejarah Indonesia Timur
- sejarah Minahasa
- teknokrat kolonial
- tokoh Minahasa
- tokoh Protestan
- tokoh sejarah lokal
- tokoh Sulawesi Utara
- tokoh terlupakan