Oleh: Adrianus R. Pusungunaung | Pimpinan Redaksi PRONews5.com

JAKARTA, PRONews5.com — Kisah panjang tudingan “ijazah palsu” Presiden Joko Widodo akhirnya tiba di ujung jalan. Setelah berbulan-bulan menjadi bahan perdebatan publik dan perbincangan di ruang digital, kini kepolisian menegaskan arah kasus ini dengan langkah hukum yang pasti.

Delapan orang yang selama ini dikenal vokal menuding keaslian ijazah Presiden, kini ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.

Mereka adalah Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, M. Rizal Fadillah, Rustam Effendi, Damai Hari Lubis, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma.

Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri mengatakan penetapan dilakukan setelah serangkaian penyelidikan dan gelar perkara.

“Kami membagi kasus ini menjadi dua klaster. Klaster pertama terdiri atas RS, KTR, MRF, RE, dan DHL. Klaster kedua meliputi RS, RHS, dan TT,” ujar Asep di Gedung Ditreskrimum, Jumat (7/11/2025).

Menurutnya, klaster pertama dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, serta Pasal 27A juncto Pasal 45 ayat (4) dan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang ITE.

Sementara klaster kedua dikenai tambahan pasal tentang manipulasi dokumen elektronik, yakni Pasal 32 ayat (1) juncto Pasal 48 ayat (1) dan Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1) UU ITE.

“Penetapan dilakukan melalui asistensi dan gelar perkara dengan melibatkan ahli pidana, ahli ITE, sosiologi hukum, dan bahasa. Semua proses berjalan profesional dan transparan,” tegas Asep.

Kasus ini ditangani oleh Subdit Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

Tercatat ada enam laporan polisi, termasuk satu laporan resmi dari Presiden Jokowi. Lima laporan lainnya merupakan pelimpahan dari polres-polres di wilayah hukum Polda Metro Jaya.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary menyebut tiga laporan telah memenuhi unsur pidana dan naik ke tahap penyidikan, sedangkan dua laporan lainnya dicabut karena pelapor tidak memenuhi undangan klarifikasi. “Tiga laporan tersebut telah ditemukan dugaan peristiwa pidana,” ujarnya.

Dalam laporannya, Presiden Jokowi menyerahkan barang bukti berupa satu flashdisk berisi 24 tautan video YouTube, tangkapan layar konten dari media sosial X, serta fotokopi ijazah dan legalisirnya, termasuk sampul dan lembar pengesahan skripsi.

Bukti-bukti ini digunakan untuk memperkuat klaim keaslian dokumen akademik Jokowi dan menunjukkan bahwa tudingan yang beredar tidak berdasar.

Kasus ini menjadi penanda penting tentang bagaimana hukum berhadapan dengan dinamika media digital.

Tudingan yang berawal dari unggahan di internet kini berkembang menjadi perkara pidana serius yang menjerat sejumlah tokoh publik.

Menurut pandangan ahli pidana, penyebaran informasi bohong yang menyerang nama baik seseorang termasuk dalam kategori delik formil—cukup dibuktikan dengan adanya perbuatan tanpa harus menunggu akibat langsung.

Bagi Jokowi, langkah hukum ini adalah cara menjaga kehormatan dan kebenaran. Ia tidak memilih berdebat di ruang publik, melainkan membawa bukti ke hadapan penyidik.

“Ini bukan semata tentang ijazah, tapi tentang kebenaran dan tanggung jawab moral,” ujar seorang akademisi hukum dari Universitas Negeri Manado yang ditemui PRONews5.

Kini, penyidik bersiap memeriksa ulang para tersangka untuk mendalami peran dan keterlibatan mereka dalam menyebarkan narasi tersebut.

Kasus ini menjadi pelajaran bagi masyarakat tentang batas kebebasan berpendapat dan konsekuensi hukum dari penyebaran kebohongan di dunia digital.

Dalam era di mana informasi bergerak cepat dan opini mudah menyulut perdebatan, kebenaran harus berdiri di atas dasar bukti.

Tuduhan “ijazah palsu” kini tak lagi menjadi bahan gosip politik, tetapi fakta hukum yang akan diuji di ruang penyidikan.


Sebagai media independen, PRONews5.com berkomitmen menyajikan berita akurat dari lapangan. Jika di kemudian hari ditemukan kekeliruan penulisan atau data, redaksi akan melakukan revisi dan klarifikasi sesuai kaidah jurnalisme yang bertanggung jawab.