JAKARTA, PRONews5.com Momentum Hari Lahir Pahlawan Nasional Dr Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau Sam Ratulangi yang bertepatan dengan Hari Jadi ke-597 Minahasa, Rabu (5/11/2025), menjadi tonggak penting bagi Sam Ratulangi Institute (SRIN) untuk meneguhkan kiprahnya sebagai lembaga pendidikan, kajian, dan riset berkarakter kebangsaan.

SRIN merupakan lembaga pendidikan yang digagas Gerakan Penerus Perjuangan Merah Putih 1945 (GPPMP) sejak tahun 2016.

Ketua Umum GPPMP Dr Jeffrey Rawis, SE, MA menjadi penggagas utama berdirinya lembaga ini bersama sejumlah tokoh Minahasa lainnya.

Dalam momentum peringatan tersebut, SRIN menggelar seminar nasional bertajuk “Makna Falsafah Si Tou Timou Tumou Tou (ST4) dalam Konteks Demokrasi Kekinian.”

Kegiatan yang digelar secara daring sejak pukul 19.30 hingga 22.00 WIB itu diikuti peserta dari berbagai wilayah Indonesia, bahkan dari luar negeri seperti Australia dan Amerika Serikat.

Seminar ini menghadirkan tiga pemikir Kawanua terkemuka, yakni Prof Ir Rudy C Tarumingkeng, MF, Ph.D, Dr Benny Matindas, dan Jeirry Sumampouw, STh, MSi, dengan moderator Sonya Hellen Sinombor, MH dari harian Kompas.

Dalam paparannya, Prof Rudy Tarumingkeng menegaskan bahwa falsafah “Si Tou Timou Tumou Tou” harus ditanamkan melalui tiga pilar utama: educating (mendidik), tending (menuntun), dan empowering (memberdayakan).

“Sam Ratulangi adalah filsuf asal Minahasa yang luar biasa. Falsafah ST4 tetap relevan bagi generasi muda, terutama Generasi Z,” ujar Guru Besar Emeritus IPB yang juga mantan Rektor UNCEN dan UKRIDA itu.

Rudy menjelaskan, GSSJ Ratulangi bukan hanya doktor matematika, tetapi juga seorang humanis sejati, sebagaimana dibuktikan melalui disertasi akademiknya di Zürich yang ditunjukkan oleh putrinya, Lani Ratulangi.

Sementara itu, Dr Benny Matindas menegaskan bahwa falsafah ST4 jangan hanya berhenti sebagai slogan kosong.

“Si Tou Timou Tumou Tou berbeda dengan slogan. Ia adalah filsafat hidup yang memanusiakan manusia,” tegasnya.

Benny menelusuri sejarah falsafah tersebut yang pertama kali dipopulerkan oleh Sam Ratulangi pada tahun 1925 di Amurang dalam sebuah pertemuan organisasi perempuan Minahasa.

Menurutnya, ST4 harus dipahami sebagai pandangan hidup yang menembus batas formalitas, menjadi dasar pembentukan karakter manusia Indonesia seutuhnya.

Direktur Eksekutif SRIN Jeirry Sumampouw, yang juga dikenal sebagai pengamat politik nasional, menilai bahwa ST4 mengandung semangat humanisme kritis dan demokratis yang kuat.

“Oom Sam Ratulangi memang dipengaruhi filsafat humanis Eropa, tetapi ia memberi warna egaliter khas Minahasa,” jelas Jeirry.

Ia menambahkan, ST4 menumbuhkan tanggung jawab sosial, etos mapalus (gotong royong khas Minahasa), serta semangat pelayanan.

“Manusia sejati adalah pelayan kemanusiaan, bukan sekadar rakyat,” ujarnya.

Jeirry menilai bahwa pendidikan berbasis ST4 mampu membentuk manusia yang demokratis, kritis, beretika, dan peduli terhadap sesama.

“Konsep ST4 menumbuhkan manusia terdidik yang peduli, kritis, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial,” tandasnya.

Seminar tersebut menjadi refleksi mendalam bahwa falsafah “Si Tou Timou Tumou Tou” bukan sekadar semboyan daerah, melainkan etos kebangsaan universal.

Falsafah yang digali oleh Sam Ratulangi seabad lalu kini kembali menemukan relevansinya — sebagai dasar moral bagi generasi baru Indonesia untuk membangun peradaban yang memanusiakan manusia.

[**/ARP]