PATI, PRONews5.com- Siang itu, Selasa (12/8/2025), udara di Alun-Alun Pati bukan lagi milik penjual es dawet atau pedagang cilok. Bau menyengat gas air mata menembus hidung, memaksa mata-mata basah, bukan oleh haru, melainkan perih yang membakar.

Terik matahari berpadu dengan teriakan massa, peluit aparat, dan dentuman sepatu lars yang saling beradu di jalan berlapis aspal panas.

Bentrok pecah sekitar pukul 11.30 WIB. Ratusan pengunjuk rasa yang membawa spanduk bertuliskan “Sudewo Mundur!” memaksa mendekati pendopo kabupaten. Mereka datang dari berbagai kecamatan, sebagian mengenakan kaos hitam bertuliskan slogan perlawanan, sebagian lagi membawa poster dengan wajah sang bupati yang dicoret merah.

Tuntutan mereka sederhana, namun tajam: Bupati Pati, Haryanto Sudewo, lengser sebelum masa jabatan berakhir. Alasan mereka berlapis—dari dugaan penyalahgunaan anggaran, kebijakan pembangunan yang dinilai tak pro rakyat, hingga minimnya transparansi dalam proyek infrastruktur.

Namun, di ruang pendingin berornamen ukiran Jawa, Sudewo memilih kata-kata yang dingin.

“Saya tetap menjalankan amanah hingga akhir. Tekanan tidak akan mengubah keputusan saya,” ucapnya dalam konferensi pers, sesaat setelah situasi mereda.

Korban berjatuhan. Data Dinas Kesehatan Pati mencatat 34 orang luka—29 dari pihak massa, lima dari kepolisian. Luka memar, sesak napas, hingga cedera kepala menjadi gambaran nyata panasnya situasi politik di kabupaten ini. Dua korban harus dirujuk ke rumah sakit rujukan karena kondisinya memburuk.

Kapolres Pati, AKBP Andri Setiawan, mengungkapkan gas air mata adalah “opsi terakhir” setelah imbauan damai diabaikan.

“Kami sudah berusaha persuasif, tapi massa memaksa menerobos barikade. Situasi mengancam keamanan, sehingga tindakan pengendalian dilakukan,” ujarnya.

Di luar bentrok fisik, situasi politik di Pati memasuki babak genting. Aksi 12 Agustus hanyalah puncak dari gelombang protes yang telah mengalir sejak sepekan terakhir. LSM lokal, aliansi mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil membentuk koalisi “Pati Bergerak” yang bertekad melanjutkan aksi hingga tuntutan dipenuhi.

Meski demikian, di tengah tekanan dan sorotan media, Sudewo tetap bersikap seperti nakhoda yang menolak mengubah arah kapal di tengah badai.

Baginya, mundur sebelum waktunya berarti menyerah pada tekanan politik yang bisa menciptakan preseden berbahaya.

Kini, pertanyaan yang menggantung di udara Pati bukan hanya siapa yang benar atau salah, tetapi seberapa lama tensi ini akan bertahan, dan siapa yang akan terlebih dahulu kehilangan pijakan—massa atau penguasa.

[**/IND]