MALANG, PRONews5.com – Di sebuah desa kecil yang sejuk di lereng Tengger, rombongan pejabat dari Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, datang membawa harapan: ingin belajar tentang kerukunan. Mereka tak datang ke seminar nasional, tak pula ke forum lintas iman bertarif besar.
Mereka justru melangkah ke Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang—desa yang mungkin asing bagi publik, tapi menyimpan pelajaran besar: bahwa rukun itu cukup dijalani, bukan diumumkan.
Hari itu, Rabu, 30 Juli 2025, Wakil Bupati Minahasa Vanda Sarundajang, atau akrab disapa Vasung, memimpin langsung kunjungan kerja FKUB Minahasa.
Ia datang bukan sekadar dalam kapasitas pejabat, tapi sebagai pencari makna di tengah realitas sosial yang mulai terasa penuh basa-basi.
Ngadas jadi tujuan, karena di desa adat ini, kerukunan tak dibungkus baliho, tak digembar-gemborkan lewat program pemerintah. Ia hadir dalam bentuk paling utuh—kesadaran hidup berdampingan.
“Kami banyak belajar dari masyarakat Ngadas dalam menjaga keberagaman dengan tetap memelihara jati diri budaya lokal,” ucap Vasung dengan nada takjub. Kata-katanya bukan basa-basi, sebab apa yang dilihat memang tak biasa.
Di Minahasa dan banyak wilayah lain, kerukunan sering dikampanyekan lewat anggaran.
Ada seminar, pelatihan moderasi, lomba toleransi, hingga deklarasi damai. Semua dibungkus rapi, kadang megah, kadang melelahkan.
Tapi di Ngadas, tidak ada itu semua. Tak ada spanduk, tak ada acara protokoler. Yang ada hanyalah sambutan hangat dari Kepala Desa Mujianto dan warga yang melayani tamu dengan tatapan tulus.
Rombongan Minahasa—yang terdiri dari Kepala Kemenag, pengurus FKUB, Kesbangpol, Dinas Pariwisata, dan Kabag Kesra—disuguhi potret sederhana dari masyarakat adat yang hidup dengan prinsip: “Hidup itu saling menghargai, bukan saling mengatur.”
Ngadas tidak sibuk membentuk lembaga toleransi, karena toleransi itu sendiri sudah hidup dalam keseharian mereka. Tak heran, desa ini nyaris tak terdengar konflik horizontal.
Kehidupan di Ngadas seolah ingin menyampaikan satu pesan penting kepada para tamunya dari Minahasa: jangan terlalu sibuk membahas kerukunan, tapi mulailah mempraktikkannya.
Kunjungan ini barangkali membuka cermin besar bagi daerah-daerah lain yang terlalu larut dalam simbolisasi harmoni.
Kerukunan yang sejati lahir dari interaksi antarwarga, dari ruang keluarga, dari pasar tradisional, dari kebun, dari ruang ibadah yang saling menghormati, bukan dari panggung-panggung formal yang dibumbui laporan kegiatan.
Vasung sendiri menyadari hal itu. Ia menyebut kunjungan ini sebagai inspirasi untuk mengembangkan pola pembinaan kerukunan yang lebih membumi di Minahasa.
“Kami ingin bawa semangat ini ke rumah sendiri. Kerukunan jangan jadi formalitas. Biarlah ia hidup dalam perilaku,” katanya.
Ngadas tak banyak bicara. Tapi justru dari diamnya, desa ini mengajarkan pelajaran paling lantang: bahwa rukun itu bukan proyek instansi, tapi warisan budaya yang mesti dirawat, bukan diumumkan.
[**/ARP]