MANADO, PRONews5.com– Harga minyak Nilam di Sulawesi Utara (Sulut) anjlok drastis hingga Rp600 ribu per kilogram akibat permainan tengkulak, memicu keresahan petani yang merasa tak lagi mendapat perlindungan pemerintah di tengah tingginya biaya produksi.

Para petani minyak Nilam di wilayah Bolaang Mongondow (Bolmong) dan sekitarnya kini menghadapi realita pahit.

Setelah menanam dan memproses Nilam selama enam bulan, mereka hanya dihargai Rp500 ribu hingga Rp600 ribu per kilogram oleh para tengkulak. Padahal, harga ideal di tingkat eksportir bisa mencapai Rp1,2 juta hingga Rp1,3 juta per kilogram.

Permainan harga yang dilakukan para tengkulak ini membuat para petani merasa diperas habis-habisan.

Salah satu petani Nilam asal Poigar, Jacko Monigir, mengaku kecewa dan geram karena pemerintah seolah tidak memiliki daya intervensi.

“Sakit rasanya, ketika tengkulak bebas menekan harga dan pemerintah hanya diam. Pemerintah harusnya bisa menetapkan harga pokok penjualan (HPP), bukan pasrah dengan mekanisme pasar,” ujar Monigir saat diwawancarai, Kamis (1/5/2025).

Hasil investigasi redaksi PRONews5.com mengungkap bahwa penurunan harga minyak Nilam bukan berasal dari eksportir, melainkan sepenuhnya karena praktik spekulatif tengkulak di lapangan.

Seorang eksportir asal Jakarta yang enggan disebut namanya memastikan bahwa harga minyak Nilam di pasar nasional masih stabil.

“Saya sudah cek harga di Jakarta, Kotamobagu dan Medan. Tidak ada penurunan. Tengkulak yang menekan harga demi keuntungan pribadi karena tidak ada intervensi pemerintah untuk melindungi petani,” tegasnya, Kamis malam.

Koordinator Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), Ayip Said Abdullah, sebelumnya telah mengingatkan pentingnya intervensi pemerintah dalam menjaga stabilitas harga komoditas.

Dalam perbincangan bersama Pro 3 RRI pada 25 Mei 2024, Ayip menyebut bahwa intervensi harus dilakukan ketika harga di bawah HPP untuk menjaga semangat petani agar tetap mengelola lahan.

“Jika harga terus dibiarkan anjlok, petani bisa kehilangan semangat dan meninggalkan lahannya. Pemerintah harus turun tangan,” ujar Ayip.

Pegiat pertanian Nilam, AH Tawi, juga mengecam keras sikap pemerintah yang dinilainya lebih sibuk tampil di media ketimbang menyusun kebijakan nyata. Menurutnya, publikasi tanpa tindakan nyata hanya akan memperburuk nasib petani.

“Cukup sudah pencitraan. Rakyat tidak butuh omon-omon di depan kamera paparazi, tapi butuh kebijakan yang bisa menghentikan tengkulak yang mencekik kami,” ucap Tawi tegas.

Para petani Nilam di Sulut kini menanti aksi nyata dari pemerintah, bukan sekadar retorika publik. Intervensi harga, perlindungan dari mafia tengkulak, dan regulasi distribusi harus segera diimplementasikan jika negara ingin sektor pertanian Nilam tetap hidup dan menjadi penyumbang devisa nasional.

[**/ARP]