MANADO, PRONews5.com– Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Komite Pengawas Korupsi (KPK) Independen, Mardony Rangkuti Anyer SH, MH, mendesak Kepolisian Daerah Sulawesi Utara (Polda Sulut) mengusut tuntas dugaan praktik mafia tanah serta tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam sengketa kepemilikan lahan tambang di Desa Lanut, Kecamatan Modayag, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sulawesi Utara.
Permintaan tersebut disampaikan Mardony Rangkuti setelah mengamati berbagai kejanggalan hukum dalam perebutan lahan tambang di wilayah yang sejak lama dikenal sebagai sentra pertambangan emas rakyat tersebut.
“Ini bukan persoalan biasa. Ada dugaan kuat bahwa tanah-tanah itu dibeli dari hasil kejahatan keuangan, dan pemiliknya menggunakan dokumen palsu.
Negara tidak boleh diam,” tegas Mardony saat diwawancarai PRONews5.com, Senin (21/4/2025).
Permasalahan bermula ketika aktivitas pertambangan di Desa Lanut meningkat pesat sejak awal tahun 2000-an.
Kehadiran perusahaan tambang besar seperti PT Avocet Mining membuka mata banyak pihak akan potensi kekayaan alam di kawasan tersebut.
Namun di sisi lain, hal ini juga memicu perebutan hak atas tanah secara sporadis.
Salah satu lahan tambang yang menjadi sengketa saat ini berlokasi di Rata Tobang, dengan luas sekitar 16 hektare.
Awalnya, lahan tersebut dikuasai oleh Untung Agustanto Cs sejak 2019.
Namun kemudian muncul gugatan dari seorang bernama Lukas, yang mengklaim sebagai pemilik sah lahan tersebut.
Di pengadilan, Lukas memenangkan gugatan. Akan tetapi, dalam proses persidangan terungkap fakta mengejutkan: Lukas ternyata menggunakan dua identitas berbeda, yakni nama “Lukas” beralamat di Manado, dan “Deden Suhendar” beralamat di Desa Moyongkota Baru, Kecamatan Modayag Barat.
Kedua identitas itu memiliki foto dan NIK (Nomor Induk Kependudukan) yang identik, namun dengan perbedaan nama, alamat, dan tanggal lahir.
Temuan penggunaan dua identitas ini menjadi sorotan tajam.
Mardony menjelaskan, pemalsuan data kependudukan melanggar Pasal 95B Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda sebesar Rp75 juta.
Lebih jauh, aliran dana untuk pembelian lahan tambang ini diduga berasal dari hasil TPPU yang terkait dengan kasus besar korupsi pajak.
Aliran dana tersebut bermula dari uang korupsi Angin Prayitno Aji (mantan pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu), mengalir ke Zulmanisar, diteruskan ke Deden Suhendar, lalu ke Untung Agustanto, dan akhirnya digunakan untuk membeli lahan di Rata Tobang.
“Lahan itu hasil pencucian uang kejahatan korupsi. Ini jelas harus ditelusuri sampai ke akar-akarnya,” kata Mardony.
Saat ini, lahan tambang tersebut dikelola oleh Lucky Suwardjo bersama Koperasi Unit Desa (KUD) Nomontang dan beberapa pengusaha tambang lainnya.
Menurut UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan tambang harus berbasis hukum yang sah dan transparan.
Dalam praktiknya, mafia tanah di sektor pertambangan kerap memalsukan dokumen atau menggunakan jalur litigasi untuk menguasai aset yang sesungguhnya tidak sah, bahkan dengan melibatkan oknum di berbagai instansi.
Di kasus Desa Lanut, dugaan keterlibatan identitas ganda dan dana ilegal memperkuat indikasi bahwa bukan sekadar sengketa biasa, melainkan bagian dari praktik mafia tanah terorganisir.
“Negara harus hadir. Hukum tidak boleh tunduk kepada mafia tanah atau koruptor berkedok pengusaha,” seru Mardony.
Kabupaten Boltim sendiri bukan kali pertama dirundung konflik tanah dan pertambangan. Sebelumnya, pada 2017 dan 2019, beberapa bentrokan antara warga lokal, investor, dan pengusaha tambang pernah terjadi, bahkan sampai memakan korban luka.
Sejumlah laporan LSM dan media juga menyebutkan, banyak tanah adat dan lahan warisan masyarakat lokal yang tiba-tiba berganti sertifikat tanpa sepengetahuan pemilik aslinya.
“Inilah mengapa kami minta Polda Sulut bertindak cepat.
Jangan tunggu ada korban lagi. Usut semua pihak yang terlibat, termasuk siapa pun di balik pembiayaan pembelian tanah hasil kejahatan,” ujar Mardony.
DPP KPK Independen secara resmi meminta KPK RI, Kejaksaan Agung, serta Polda Sulut untuk:
Menyelidiki dugaan TPPU dalam pembelian lahan tambang di Desa Lanut;
Mengusut dugaan pemalsuan identitas oleh Lukas alias Deden Suhendar; Mengevaluasi seluruh proses peralihan hak atas tanah di Desa Lanut dan sekitarnya; dan Menindak tegas seluruh pelaku mafia tanah tanpa pandang bulu.
“Kalau benar negara ini menjunjung tinggi hukum, maka para mafia tanah ini harus diadili.
Masyarakat Boltim, terutama rakyat kecil, berhak atas keadilan dan perlindungan hukum,” tutup Mardony dengan nada tegas.
[**/ARP]