PRONEWS|TOMOHON- Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sering kali menjadi tolok ukur keberhasilan demokrasi, namun dugaan pelanggaran hukum oleh pasangan calon (Paslon) nomor urut 3, Caroll Joram Azarias Senduk dan Sendy Gladys Adolfina Rumajar, mencuat sebagai isu krusial di Pilkada Tomohon 2024.
Paslon ini dituduh melanggar Pasal 71 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang dapat berujung pada sanksi serius berupa diskualifikasi.
Ketua LSM INAKOR, Rolly Wenas, menyoroti bahwa Pasal 71 ayat (2) melarang kepala daerah petahana melakukan penggantian pejabat dalam waktu enam bulan sebelum penetapan calon hingga akhir masa jabatan, kecuali dengan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Ketentuan ini bertujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan yang dapat memengaruhi hasil Pilkada.
Namun, dugaan muncul bahwa Caroll Senduk, selaku Wali Kota Tomohon sekaligus calon petahana, melanggar ketentuan ini dengan melakukan mutasi terhadap 99 pejabat di lingkup Pemerintah Kota Tomohon setelah 22 Maret 2024 tanpa persetujuan Mendagri.
Permohonan persetujuan baru diajukan setelah mutasi dilakukan, yang menurut Rolly Wenas merupakan pelanggaran prosedural serius.
Pasal 71 ayat (5) dengan tegas menyebutkan bahwa pelanggaran oleh petahana dapat dikenai sanksi berupa pembatalan pencalonan.
Bahkan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 570/K/TUN/PILKADA/2016 menguatkan bahwa pelanggaran ini bersifat fatal dan tidak dapat dihapus meskipun tindakan tersebut dicabut.
Menurut Wenas, jika Paslon 3 terbukti melanggar, seluruh suara yang diperoleh mereka akan dinyatakan nol.
“Jika diskualifikasi diterapkan, pasangan Wenny Lumentut dan Octavian Michael Mait otomatis menjadi pemenang Pilkada Tomohon dengan perolehan 29.494 suara sah,” ungkapnya, Senin (25/1/2024).
Rolly Wenas juga mengkritik Bawaslu Kota Tomohon karena dianggap gagal menindaklanjuti temuan pelanggaran ini meskipun Instruksi Bawaslu RI Nomor 7 Tahun 2024 mengharuskan pengawasan dan pelaporan pelanggaran Pasal 71 ayat (2).
KPU Kota Tomohon juga dinilai tidak menjalankan kewenangannya dalam memberikan sanksi administrasi berupa diskualifikasi kepada Paslon 3.
“Kegagalan Bawaslu dan KPU dalam menangani kasus ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum dalam Pilkada Tomohon.
Jika aturan ini tidak ditegakkan, kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi akan terkikis,” tegas Wenas.
Wenas menegaskan bahwa diskualifikasi adalah langkah mutlak yang harus diambil untuk menjaga integritas dan keadilan Pilkada.
Ia mengingatkan, kepatuhan terhadap undang-undang adalah fondasi utama dalam menciptakan demokrasi yang bersih dan berintegritas.
“Proses Pilkada harus mencerminkan prinsip keadilan dan transparansi.
Jika pelanggaran seperti ini dibiarkan, hal itu tidak hanya merusak proses demokrasi tetapi juga kepercayaan masyarakat,” pungkasnya.
[**/ARP]