PRONEWS|JAKARTA- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diusung oleh pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi sorotan setelah pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 71 triliun untuk 2025 melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Meski demikian, sejumlah pengamat menilai anggaran ini tidak akan cukup hingga akhir tahun, sehingga mendorong munculnya skema pendanaan alternatif untuk mendukung keberlanjutan program.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah pemanfaatan dana dari Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di daerah-daerah, yang mengandalkan beberapa sumber dana, termasuk APBN dan Dana Desa.

Usulan ini bertujuan untuk memastikan MBG tetap dapat berjalan meskipun anggaran APBN terbatas.

Namun, kontroversi muncul setelah Ketua DPD Sultan Bachtiar Najmudin mengusulkan agar program MBG turut memanfaatkan dana zakat.

Usulan ini memicu perdebatan di kalangan masyarakat dan legislatif.

Sebagian pihak menilai bahwa penggunaan dana zakat bertentangan dengan esensi “gratis” dalam program tersebut, sementara yang lain berpendapat bahwa jika MBG difokuskan pada fakir miskin, penggunaan dana zakat bisa dipertimbangkan.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menyampaikan bahwa dana zakat bisa digunakan untuk program MBG, asalkan memenuhi prinsip-prinsip syariat zakat, yaitu untuk membantu mereka yang membutuhkan (mustahik).

“Jika program MBG menyasar fakir miskin dan kelompok rentan, maka dana zakat bisa digunakan,” jelas Fikri dalam keterangannya, Minggu (19/1/2025).

Namun, Fikri menegaskan pentingnya akuntabilitas dalam penggunaan dana zakat.

Ia menyarankan agar penyaluran dana tersebut diserahkan kepada lembaga amil zakat yang berwenang, seperti Lembaga Amil Zakat (LAZ) atau Badan Amil Zakat Nasional (Baznas).

“Pelaksanaannya harus dikembalikan kepada lembaga yang memiliki akuntabilitas, seperti LAZ atau Baznas,” tegas Fikri.

Lebih lanjut, Fikri juga mengusulkan agar program MBG dapat diperluas dengan melibatkan sumber dana lain, seperti dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan milik negara maupun swasta.

Hal ini bertujuan untuk menjangkau masyarakat yang lebih luas, terutama mereka yang tidak termasuk dalam kategori mustahik zakat.

Dengan demikian, Fikri berharap program MBG dapat berjalan sesuai dengan ketentuan syariat dan tidak mengurangi porsi zakat yang seharusnya diterima oleh mustahik.

Ia menyarankan agar bila program ini menyasar masyarakat umum, sebaiknya menggunakan skema pendanaan lain yang sesuai dengan undang-undang.

“Saya setuju jika peruntukannya menyasar fakir miskin dan kelompok rentan.

Karena ini sesuai dengan kriteria mustahik zakat, tetapi jika untuk umum, sebaiknya menggunakan skema lain yang dibenarkan oleh undang-undang,” pungkas Fikri.

Diskusi mengenai penggunaan zakat untuk program MBG ini masih akan terus berkembang, mengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana untuk memastikan program ini memberikan manfaat yang maksimal bagi masyarakat yang membutuhkan.

[**/ML]